Rabu, 25 Desember 2019

RESUME PSIKOLOGI ABNORMAL BAB BUNUH DIRI


PSIKOLOGI ABNORMAL BAB BUNUH DIRI

RESUME
Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003)
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Pengantar Psikologi yang diampu oleh Bapak Fathol Haliq, M.Si.

Oleh :
Muhammad Al Fatih        NIM. 2016070-------




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017




PSIKOLOGI ABNORMAL BAB BUNUH DIRI
Dibawah stres yang berat, banyak orang, bila tidak semua, memiliki pertimbangan untuk bunuh diri. Suatu survei terkini yang cukup mewakili secara nasional menemukan bahwa 13%  dari orang dewasa di AS dlaporkan pernah memiliki pikiran bunuh diri dan 4,6% dilaporkan melakukan percobaan bunuh diri. Untungnya kebanyakan orang yang memiliki pikiran bunuh diri tidak bertindak atas pikirannya itu.[1] Hanya sebagian kecil dari mahasiswa yang punya pikiran bunuh diri ini yang benar-benar membunuh dirinya sendiri, dan hanya sedikit yang berhasil.[2]
Perilaku bunuh diri bukanlah suatu gangguan psikologis, tetapi sering merupakan ciri atau simtom dari gangguan psikologi yang mendasarinya, biasanya gangguan mood. Pemerntah federal memperkirakan sekitar 60% orang yang melakukan bunh diri telah menderita gangguan mood.[3]
Siapa yang Bunuh Diri?
Menurut National Center for Health Statistic,bunuh diri secara resmi merupakan penyebab kematian tertinggi kedelapan untuk orang-orang berusia 25-34 tahun di Amerika Serikat.[4] Angka bunuh diri diantara remaja dan dewasa muda naik hampir tiga kali lipat pada periode tahun 1952 hingga 1995. Namun angka bunnuh diri meningkat seiring peningkatan usia dan paling tinggi terdapat diantara orang dewasa berusia 65 tahun dan lebih, terutama pria kulit putih yang lanjut usia.[5]
Terlepas dari terdapatnya kemajuan teknologi perpanjangan hidup dalam perawatan medis, sejumlah orang dewasa lanjut usia merasa bahwa kualitas kehidupan mereka kurang dari memuaskan. Dengan hidup lebih lama, sejumlah orang lanjut usia menjadi lebih rentan terhadap penyakit seperti kanker dan Alzheimer, yang dapat membuat mereka merasa tidak berdaya dan putus asa yang pada gilirannya dapat memunculkan pemikiran untuk bunuh diri. Lebih banyak wanita yang mencoba bunuh diri, namun lebih banyak pria yang “sukses”. Karena pria lebih cenderung untuk memilih tidakan yang lebih cepat dan alat yang lebih mematikan, seperti pistol. Secara keseluruhan, orang kulit putih hampir dua kali lipat dibanding orang kulit hitam untuk melakukan bunuh diri. Angka bunuh diri tertinggi dikalangan remaja terdapat diantara pria kulit putih, namun angka tersebut meningkat pesat diantara pria berkulit hitam. Orang pribumi Amerika memiliki resiko yang jauh lebih besar dari rata-rata dalam percobaan bunuh diri dan keberhasilan bunuh diri.[6]
Mengapa Orang Melakukan Bunuh Diri?
Memiliki pikiran-pikiran mengenai bunuh diri umumnya merefleksikan suatu kesempitan kisaran pilihan yang orang pikir tersedia bagi mereka untuk mengatasi masalah-masalah mereka. Ini berarti mereka kehilangan harapan mengenai masalah-masalah mereka dan tidak melihat jalan keluar lain.
Risiko bunuh diri lebih besar diantara orang dengan gangguan mood yang parah, seperti depresi mayor dan gangguan bipolar. Para ahli percaya bahwa semakin besar usaha yang dilakukan untuk mendiagnosis dan menangani gangguan mood dapat menghasilkan angka bunuh diri yang lebih rendah. Tidak semua bunuh diri terkait dengan gangguan psikologis. Sejumlah orang yang menderita penyakit fisik yang sangat menyakitkan dan tanpa harapan mencari pelarian dari penderitaan mereka dengan cara mengakhiri hidup mereka. Namun mungkin dalam banyak dari kasus ini, penilaian dan kemampuan penalaran orang tersebut bisa saja dipengaruhi oleh suatu gangguan psikologis yang mendasar dan potensial yang dapat ditangani seperti depresi. Percobaan bunuh diri sering kali terjadi dalam upaya merespon terhadap peristiwa hidup yang penuh tekanan, terutama “kejadian keluar” seperti kematian pasangan, teman dekat, atau kerabat; perceraian atau perpisahan; seorang anggota keluarga meninggalkan rumah; atau kehilangan teman dekat.[7]
Perspektif Teoritis tentang Bunuh Diri
Model psikodinamika klasik memandang depresi sebagai pengalihan kedalam dari rasa marah terhadap representasi internal atas objek cinta yang hilang. Kemudian, bunuh diri mewakili kemarahan yang diarahkan kedalam yang menjadi bersifat membunuh. Jadi, orang yang bunuh diri tidak berusaha menghancurkan dirinya sendiri. Mereka malah mencari cara untuk mengekspresikan rasa marah mereka terhadap representasi internal atas objek cintanya. Dengan melakukannya, mereka tentu saja juga menghancurkan diri mereka sendiri.[8] Lewihnson, Rohde, dan Seeley (1993) menyimpulkan bahwa dikalangan remaja prilaku bunuh diri kebanyakan merupakan pengekspresian ekspresi berat.[9]
Pada abad kesembilan belas, pemikir sosial Emile Durkheim (1958) menyatakan bahwa orang yang mengalami anomi (anomie) –mereka yang merasa tersesat, tanpa identitas, tidak berakar- lebih cenderung untuk melakukan bunuh diri. Teoretikus sosiokultural juga percaya bahwa alienasi (keterasingan) dalam masyarakat saat ini dapat memainkan suatu peran dalam bunuh diri. Teoretikus belajar banyak berfokus pada kurangnya keterampilan pemecahan masalah untuk menangani tekanan hidup yang berat. Menurut Shneidman (1985), orang yang melakukan percobaan bunuh diri berharap untuk dapat lari dari rasa sakit psikologis yang tidak tertahankan dan kemungkinan memersepsikan bahwa tidak ada jalan keluar lain.[10]
Teoretikus sosial-kognitif mengatakan bahwa bunuh diri dapat dimotivasi oleh harapan positif dan oleh sikap-sikap persetujuan terhadap legitimasi dari bunuh diri. Orang yang membunuh dirinya sendiri mungkin berharap bahwa mereka akan dirindukan atau dikenang setelah kematian mereka, atau bahwa orang yang hidup akan merasa bersalah karena telah salah memperlakukan mereka. Teoretikus sosial-kognitif juga berfokus pada dampak modeling yang potensial dari mengobservasi perilaku bunuh diri pada orang lain, terutama dikalangan remaja yang merasa terbebani oleh stresorakademik dan sosial. Suatu penularan sosial, atau menyebarnya bunuh diri dalam komunitas, dapat terjadi  dengan adanya bunuh diri yang mendapat publisitas yang luas.[11] Gould (1990) melaporkan tentang peningkatan bunnuh diri selama kurun waktu 9 hari setelah adanya publisitas yang luas tentang bunuh diri. Clusters of suicide (klaster bunuh diri) tampak dominan dikalangan remaja; 5% diantara seluruh bunuh diri yang dilakukan remaja belasan tahun merefleksikan peniruan (Gould, 1990).[12]
Bunuh diri terkait dengan suatu jaringan yang kompleks dari berbagai faktor, dan untuk memprediksinya tidaklah mudah. Namun jelas bahwa banyak bunuh diri yang dapat dicegah bilaorang dengan perasaan bunuh diri menerima penanganan untuk gangguan yang mendasari perilaku bunuh diri, termasuk depresi, skizofrenia, serta penyalahgunaan alkohol dan zat. Kita juga memerlukan strategi yang menekankan pada pemeliharaan harapan selama masa-masa stres berat.[13]
Memprediksi Bunuh Diri
Teman dan anggota keluarga sering merespons berita bunuh diri dengan ketidakpercayaan atau rasa bersalah bahwa mereka gagal mengenali tanda-tanda dari tindakan yang akan dilakukan. Namun bahkan para ahli terlatih pun mengalami kesuitan untuk memprediksi siapa yang mungkin melakukan bunuh diri. Bukti-bukti menunjukkan peranan vital dari keputusasaan dalam memprediksi pemikiran bunuh diri dan percobaan bunuh diri. Dalam suatu penelitian, pasien psikiatri rawat jalan yang memiliki skor keputusasaan diatas suatu nilai tertentu, 11 kali lebih cenderung untuk melakukan bunuh diri dibanding mereka yang memiliki skor dibawah nilai itu.[14] kerajaan Inggris menargetkan untuk mengurangi angka bunuh diri hingga 15%. Dan para pembuat kebijakan dan profesional kesehatan mental sedang menetapkan metode-metode terbaik untuk mencapai tujuan ini. Yang lebih mutakhir, Surgeon General of the United State telah menerbitkan sebuah laporan komprehensif tentang pencegahan bunuh diri, dengan fokus pada orang dewasa yang lebih tua, kelompok yang berisiko tinggi. Sayangnya, kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa program-program yang ditargetkan pada populasi secara umum tidak efektif.[15]
Orang yang bunuh diri cenderung mennunjukkan niatnya, seringkali cukup eksplisit, seperti menceritakan kepada orang lain mengenai pikiran-pikiran bunuh dirinya, dan beberapa usaha untuk menyembunyikan niatnya. Namun, petunjuk-petunjuk behavioral tetap dapat mengungkapkan niat bunuh diri. Edwin Shneidman, peneliti terkenal mengenai bunuh diri menemukan bahwa 90% dari orang-orang yang melakukan bunuh diri telah memberi petunjuk yang jeas, seperti membuang barang-barang miliknya. Orang yang memikirkan bunuh diri juga dapat secara tiba-tiba mencoba untuk memilah-milah urusan-urusan mereka, seperti membuat surat warisan atau membeli tanah pemakaman.[16]
Prediksi bunuh diri bukanlah sebuah ilmu pasti, bahkan bagi ahli yang berpengalaman sekalipun. Banyak faktor-faktor yang dapat diobservasi, seperti keputusasaan, yang tampak berhubungan dengan bunuh diri, namun kita tidak dapat memprediksi kapan seseorang yang putus asa akan melakukan bunuh diri, bahkan tidak sama sekali.[17]


Buku yang diresum    : Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003)
Buku refrensi              : V. Mark Durand dan David H. Barlow, Psikologi Abnormal, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006)


[1] Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 262.
[2] V. Mark Durand dan David H. Barlow, Psikologi Abnormal, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 326.
[3] Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 262.
[4] V. Mark Durand dan David H. Barlow, Psikologi Abnormal, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 324.
[5] Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 262.
[6] Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 262-263.
[7] Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 264.
[8] Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 264.
[9] V. Mark Durand dan David H. Barlow, Psikologi Abnormal, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 327.
[10] Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 264.
[11] Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 264-265.
[12] V. Mark Durand dan David H. Barlow, Psikologi Abnormal, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 328.
[13] Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 266-267.
[14] Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 267.
[15] V. Mark Durand dan David H. Barlow, Psikologi Abnormal, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 330.
[16] Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 267.
[17] Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 267.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar