PSIKOLOGI ABNORMAL BAB BUNUH DIRI
RESUME
Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA,
2003)
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Pengantar Psikologi yang
diampu oleh Bapak Fathol Haliq, M.Si.
Oleh :
Muhammad Al Fatih NIM.
2016070-------
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017
PSIKOLOGI ABNORMAL BAB BUNUH DIRI
Dibawah stres yang berat, banyak orang, bila tidak semua, memiliki
pertimbangan untuk bunuh diri. Suatu survei terkini yang cukup mewakili secara
nasional menemukan bahwa 13% dari orang
dewasa di AS dlaporkan pernah memiliki pikiran bunuh diri dan 4,6% dilaporkan
melakukan percobaan bunuh diri. Untungnya kebanyakan orang yang memiliki
pikiran bunuh diri tidak bertindak atas pikirannya itu.[1]
Hanya sebagian kecil dari mahasiswa yang punya pikiran bunuh diri ini yang
benar-benar membunuh dirinya sendiri, dan hanya sedikit yang berhasil.[2]
Perilaku bunuh diri bukanlah suatu gangguan psikologis, tetapi
sering merupakan ciri atau simtom dari gangguan psikologi yang mendasarinya,
biasanya gangguan mood. Pemerntah federal memperkirakan sekitar 60%
orang yang melakukan bunh diri telah menderita gangguan mood.[3]
Siapa yang Bunuh Diri?
Menurut National Center for Health Statistic,bunuh diri secara
resmi merupakan penyebab kematian tertinggi kedelapan untuk orang-orang berusia
25-34 tahun di Amerika Serikat.[4]
Angka bunuh diri diantara remaja dan dewasa muda naik hampir tiga kali lipat
pada periode tahun 1952 hingga 1995. Namun angka bunnuh diri meningkat seiring
peningkatan usia dan paling tinggi terdapat diantara orang dewasa berusia 65
tahun dan lebih, terutama pria kulit putih yang lanjut usia.[5]
Terlepas dari terdapatnya kemajuan teknologi perpanjangan hidup
dalam perawatan medis, sejumlah orang dewasa lanjut usia merasa bahwa kualitas
kehidupan mereka kurang dari memuaskan. Dengan hidup lebih lama, sejumlah orang
lanjut usia menjadi lebih rentan terhadap penyakit seperti kanker dan
Alzheimer, yang dapat membuat mereka merasa tidak berdaya dan putus asa yang
pada gilirannya dapat memunculkan pemikiran untuk bunuh diri. Lebih banyak
wanita yang mencoba bunuh diri, namun lebih banyak pria yang “sukses”. Karena
pria lebih cenderung untuk memilih tidakan yang lebih cepat dan alat yang lebih
mematikan, seperti pistol. Secara keseluruhan, orang kulit putih hampir dua
kali lipat dibanding orang kulit hitam untuk melakukan bunuh diri. Angka bunuh
diri tertinggi dikalangan remaja terdapat diantara pria kulit putih, namun
angka tersebut meningkat pesat diantara pria berkulit hitam. Orang pribumi
Amerika memiliki resiko yang jauh lebih besar dari rata-rata dalam percobaan
bunuh diri dan keberhasilan bunuh diri.[6]
Mengapa Orang Melakukan Bunuh Diri?
Memiliki pikiran-pikiran mengenai bunuh diri umumnya merefleksikan
suatu kesempitan kisaran pilihan yang orang pikir tersedia bagi mereka untuk
mengatasi masalah-masalah mereka. Ini berarti mereka kehilangan harapan
mengenai masalah-masalah mereka dan tidak melihat jalan keluar lain.
Risiko bunuh diri lebih besar diantara orang dengan gangguan mood
yang parah, seperti depresi mayor dan gangguan bipolar. Para ahli percaya bahwa
semakin besar usaha yang dilakukan untuk mendiagnosis dan menangani gangguan mood
dapat menghasilkan angka bunuh diri yang lebih rendah. Tidak semua bunuh diri terkait
dengan gangguan psikologis. Sejumlah orang yang menderita penyakit fisik yang
sangat menyakitkan dan tanpa harapan mencari pelarian dari penderitaan mereka
dengan cara mengakhiri hidup mereka. Namun mungkin dalam banyak dari kasus ini,
penilaian dan kemampuan penalaran orang tersebut bisa saja dipengaruhi oleh
suatu gangguan psikologis yang mendasar dan potensial yang dapat ditangani
seperti depresi. Percobaan bunuh diri sering kali terjadi dalam upaya merespon
terhadap peristiwa hidup yang penuh tekanan, terutama “kejadian keluar” seperti
kematian pasangan, teman dekat, atau kerabat; perceraian atau perpisahan;
seorang anggota keluarga meninggalkan rumah; atau kehilangan teman dekat.[7]
Perspektif Teoritis tentang Bunuh Diri
Model psikodinamika klasik memandang depresi sebagai pengalihan
kedalam dari rasa marah terhadap representasi internal atas objek cinta yang
hilang. Kemudian, bunuh diri mewakili kemarahan yang diarahkan kedalam yang
menjadi bersifat membunuh. Jadi, orang yang bunuh diri tidak berusaha
menghancurkan dirinya sendiri. Mereka malah mencari cara untuk mengekspresikan
rasa marah mereka terhadap representasi internal atas objek cintanya. Dengan
melakukannya, mereka tentu saja juga menghancurkan diri mereka sendiri.[8]
Lewihnson, Rohde, dan Seeley (1993) menyimpulkan bahwa dikalangan remaja
prilaku bunuh diri kebanyakan merupakan pengekspresian ekspresi berat.[9]
Pada abad kesembilan belas, pemikir sosial Emile Durkheim (1958)
menyatakan bahwa orang yang mengalami anomi (anomie) –mereka yang merasa
tersesat, tanpa identitas, tidak berakar- lebih cenderung untuk melakukan bunuh
diri. Teoretikus sosiokultural juga percaya bahwa alienasi (keterasingan) dalam
masyarakat saat ini dapat memainkan suatu peran dalam bunuh diri. Teoretikus
belajar banyak berfokus pada kurangnya keterampilan pemecahan masalah untuk
menangani tekanan hidup yang berat. Menurut Shneidman (1985), orang yang
melakukan percobaan bunuh diri berharap untuk dapat lari dari rasa sakit
psikologis yang tidak tertahankan dan kemungkinan memersepsikan bahwa tidak ada
jalan keluar lain.[10]
Teoretikus sosial-kognitif mengatakan bahwa bunuh diri dapat
dimotivasi oleh harapan positif dan oleh sikap-sikap persetujuan terhadap
legitimasi dari bunuh diri. Orang yang membunuh dirinya sendiri mungkin
berharap bahwa mereka akan dirindukan atau dikenang setelah kematian mereka,
atau bahwa orang yang hidup akan merasa bersalah karena telah salah
memperlakukan mereka. Teoretikus sosial-kognitif juga berfokus pada dampak modeling
yang potensial dari mengobservasi perilaku bunuh diri pada orang lain, terutama
dikalangan remaja yang merasa terbebani oleh stresorakademik dan sosial. Suatu penularan
sosial, atau menyebarnya bunuh diri dalam komunitas, dapat terjadi dengan adanya bunuh diri yang mendapat publisitas
yang luas.[11]
Gould (1990) melaporkan tentang peningkatan bunnuh diri selama kurun waktu 9
hari setelah adanya publisitas yang luas tentang bunuh diri. Clusters of
suicide (klaster bunuh diri) tampak dominan dikalangan remaja; 5% diantara
seluruh bunuh diri yang dilakukan remaja belasan tahun merefleksikan peniruan
(Gould, 1990).[12]
Bunuh diri terkait dengan suatu jaringan yang kompleks dari
berbagai faktor, dan untuk memprediksinya tidaklah mudah. Namun jelas bahwa
banyak bunuh diri yang dapat dicegah bilaorang dengan perasaan bunuh diri
menerima penanganan untuk gangguan yang mendasari perilaku bunuh diri, termasuk
depresi, skizofrenia, serta penyalahgunaan alkohol dan zat. Kita juga
memerlukan strategi yang menekankan pada pemeliharaan harapan selama masa-masa
stres berat.[13]
Memprediksi Bunuh Diri
Teman dan anggota keluarga sering merespons berita bunuh diri
dengan ketidakpercayaan atau rasa bersalah bahwa mereka gagal mengenali
tanda-tanda dari tindakan yang akan dilakukan. Namun bahkan para ahli terlatih
pun mengalami kesuitan untuk memprediksi siapa yang mungkin melakukan bunuh
diri. Bukti-bukti menunjukkan peranan vital dari keputusasaan dalam memprediksi
pemikiran bunuh diri dan percobaan bunuh diri. Dalam suatu penelitian, pasien
psikiatri rawat jalan yang memiliki skor keputusasaan diatas suatu nilai
tertentu, 11 kali lebih cenderung untuk melakukan bunuh diri dibanding mereka
yang memiliki skor dibawah nilai itu.[14]
kerajaan Inggris menargetkan untuk mengurangi angka bunuh diri hingga 15%. Dan
para pembuat kebijakan dan profesional kesehatan mental sedang menetapkan
metode-metode terbaik untuk mencapai tujuan ini. Yang lebih mutakhir, Surgeon
General of the United State telah menerbitkan sebuah laporan komprehensif
tentang pencegahan bunuh diri, dengan fokus pada orang dewasa yang lebih tua,
kelompok yang berisiko tinggi. Sayangnya, kebanyakan penelitian menunjukkan
bahwa program-program yang ditargetkan pada populasi secara umum tidak efektif.[15]
Orang yang bunuh diri cenderung mennunjukkan niatnya, seringkali
cukup eksplisit, seperti menceritakan kepada orang lain mengenai
pikiran-pikiran bunuh dirinya, dan beberapa usaha untuk menyembunyikan niatnya.
Namun, petunjuk-petunjuk behavioral tetap dapat mengungkapkan niat bunuh
diri. Edwin Shneidman, peneliti terkenal mengenai bunuh diri menemukan bahwa
90% dari orang-orang yang melakukan bunuh diri telah memberi petunjuk yang
jeas, seperti membuang barang-barang miliknya. Orang yang memikirkan bunuh diri
juga dapat secara tiba-tiba mencoba untuk memilah-milah urusan-urusan mereka,
seperti membuat surat warisan atau membeli tanah pemakaman.[16]
Prediksi bunuh diri bukanlah sebuah ilmu pasti, bahkan bagi ahli
yang berpengalaman sekalipun. Banyak faktor-faktor yang dapat diobservasi,
seperti keputusasaan, yang tampak berhubungan dengan bunuh diri, namun kita
tidak dapat memprediksi kapan seseorang yang putus asa akan melakukan bunuh
diri, bahkan tidak sama sekali.[17]
Buku yang diresum : Jeffrey
S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003)
Buku refrensi :
V. Mark Durand dan David H. Barlow, Psikologi Abnormal, (Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR, 2006)
[1] Jeffrey S.
Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 262.
[2] V. Mark Durand
dan David H. Barlow, Psikologi Abnormal, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR,
2006), hlm. 326.
[3] Jeffrey S.
Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 262.
[4] V. Mark Durand
dan David H. Barlow, Psikologi Abnormal, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR,
2006), hlm. 324.
[5] Jeffrey S.
Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 262.
[6] Jeffrey S.
Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 262-263.
[7] Jeffrey S.
Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 264.
[8] Jeffrey S.
Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 264.
[9] V. Mark Durand
dan David H. Barlow, Psikologi Abnormal, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR,
2006), hlm. 327.
[11] Jeffrey S.
Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 264-265.
[12] V. Mark Durand
dan David H. Barlow, Psikologi Abnormal, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR,
2006), hlm. 328.
[13] Jeffrey S.
Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 266-267.
[14] Jeffrey S.
Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 267.
[15] V. Mark Durand
dan David H. Barlow, Psikologi Abnormal, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR,
2006), hlm. 330.
[16] Jeffrey S.
Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 267.
[17] Jeffrey S.
Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), hlm. 267.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar