BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karakteristik adalah ciri khas suatu
wilayah, seperti wilayah perkotaan ataupun perdesaan. Adapun karakteristik kota
ditinjau dari aspek morfologi, antara kota dan pedesaan terdapat perbedaan bentuk
fisik, seperti cara membangun bangunan-bangunan tempat tinggal. Dari aspek
jumlah penduduk, dapat dipakai ukuran yang tepat untuk menyebut kota atau desa.
Dari aspek sosial, dapat dilihat dari
hubungan antara penduduk atau warga kota atau desa. Dari aspek ekonomi,
dapat dilihat dari cara hidup warga kota atau desa. Dari aspek hukum, dapat
dilihat dari hak-hak dan kewajiban hukum bagi warga kota atau desa.
Karakteristik
umum masyarakat pedesaan yaitu masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri dalam
hidup bermasyakat, yang biasa nampak dalam perilaku keseharian mereka. Berbeda
dengan karakteristik masyarakat perkotaan, masyarakat pedesaan lebih
mengutamakan kenyamanan bersama dibanding kenyamanan pribadi atau individu.
Msyarakat perkotaan sering disebut sebagai urban community.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana karakteristik masyarakat kota dan desa?
- Apa perbedaan karakteristik masyarakat kota dan desa?
- Apa yang menyebabakan perbedaan karakteristik masyarakat kota dan desa?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui karakteristik masyarakat kota dan desa.
2. Untuk mengetahui perbedaan-perbedaan karakteristik masyarakat kota dan
desa.
3. Untuk mengetahui penyebab-penyebab perbedaan karakteristik kota dan desa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik
masyarakat kota dan desa
1. Masyarakat Perkotan
Kita yang hidup pada zaman mutakhir ini
dapat dengan mudah mengamati dan menggambarkan apakah “kota” itu, sesuai dengan
tolak ukur atau fokus perhatian kita masing-masing. Jika direnungkan, dari
sejarah masa lampau “kota” itu tidak berbeda dengan “desa”, atau kota terjadi
dari desa, sebagai tempat pemukiman manusia.
Jadi
aspek “manusia” dan “masyarakat” yang menciptakan lingkungan tempat mukimnya,
kemudian menjadi desa atau kota, sesuai dengan perkembangan budaya mereka. Jika
dilihat dari segi tersebut, maka kota adalah suatu ciptaan perbadaan ummat
manusia. Kota sebagai hasil dari peradaban lahir dari pedesaan, tapi kota
berbeda dengan pedesaan. Pedesaan sebagai “ daerah yang melindungi kota”
(P.J.M. Nas, 1979 : 28). Kota seolah-olah mempunyai karakter tersendiri,
menpunyai jiwa, organisasi, budaya atau peradaban tersendiri.
Masyarakat
perkotaan sering disebut juga sebagai urban community, pengertian masyarakat
kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupan serta ciri-ciri kehidupan yang
berbeda dengan masyarakat pedesaan.
a. Dari aspek morfologi,
antara kota dan pedesaan terdapat perbedaan bentuk fisik, seperti cara
membangun bangunan-bangunan tempat tinggal yang berjejal dan mencakar langit
(tinggi) dan serba kokoh. Tetapi pada prakteknya kriteria itu sukar dipakai
pengukuran, karena bnyak kita temukan di bagian-bagian kota tampak seprti desa
misalnya di derah pinggiran kota, sebaliknya terdapat juga di desa-desa yang
mirip kota, seprti di desa-desa pegunungan di Negara-negara laut tengah
(Eropah).
b. Dari aspek jumlah
peduduk. Secara praktis jumlah penduduk ini dapat dipakai ukuran yang tepat
untuk menyebut kota atau desa, meskipun juga tidak terlepas dari
kelemahan-kelemahan. Kriteria jumlah penduduk ini dapat secara mutlak atau
dalam arti relatif yakni kepadatan penduduk dalam suatu wilayah. Sebagai contoh
ada beberapa Negara misalnya di Amerika Serikat dan Meksiko, suatu tempat
pemukiman yang dihuni oleh 2500 jiwa keatas disebut kota, sedangkan di Albania
dan Swedia di atas jumlah 200 jiwa disebut kota.
Contoh lain seperti di kemukakan oleh W.F.
Wilcox, daerah yang jumlah penduduk 100 hingga 1000 jiwa disebut village, dan
1000 jiwa ke atas disebut city (S.Imam Asy’ari, 1983 : 86). Memang terdapat
batasan, seperti yang dipakai dalam Demografic Yearbook, batas-batas jumlah
penduduk (sebuah kota) ialah : 200, 1000, 1500, 2000, 2500, 10000 dan 30000.
Kadang-kadang ada kriteria lain yang dipakai secara berdampingan atau terlepas
dari batas-batas tadi. Australia, memakai kriteria : Kelompok penduduk sejumlah
: 1000 atau lebih dengan kepadatan minimum 500 orang permil persegi .
Kesulitannya jika hanya mendasarkan diri pada
segi jumlah penduduk atau kepadatannya itu ialah : ciri-ciri khas dari suatu
kota tidak tampak jelas; di samping itu akan berbeda-beda di berbagai daerah
atau negara. Indonesia dan beberapa Negara di Asia Timur misalnya, banyak
daerah yang jika ditilik dari jumlah penduduk dan kepadatannya, cukup tinggi,
tetapi masih benar-benar bersifat agraris dan belum dapat dikatagorikan sebagai
“kota”, sebaliknya di Amerika serikat di Los Angeles dan Las Vegas , jumlah penduduk dan
kepadatannya relatif rendah sekali, tetapi jelas mempunyai sifat khas sebagai
“kota” bahkan “kota besar” jika di bandingkan debgan di Indonesia atau Asia
yang lain.
c.
Dari
aspek sosial, gejala kota dapat dilihat dari hubungan-hubungan sosial (social
interelation dan social interaction) diantara penduduk atau warga kota, yakni
yang bersifat kosmopolitan. Hubungan sosial yang bersifat impersonal sepintas
lalu (super-ficial), berkotak-kotak, bersifat sering terjadi hubungan karena
kepentingan dan lain-lain, orang lain bebas untuk memilih hunbungan sendiri. (
lihat: Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1976 : 435 dan Drs. M. Thalla, 1972:
thl.).
d.
Dari
aspek ekonomi, gejala kota dapat dilihat dari cara hidup warrga kota yakni
bukan dari bidang pertanian atau agraria sebagai mata pencaharian
pokoknya,tetapi dari bidang-bidang lain di segi produksi atau jasa. Kota
berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi, perdagangan industri dan kegiatan
pemerintahan serta jasa-jasa pelayanan yang lain. Ciri yang khas suatu kota
ialah adanya pasar, pedagang, dan pusat perdagangan.
e.
Dari
aspek hukum, pengertian kota yang dikaitkan dengan adanya hak-hak dan kewajiban
hukum bagi penghuni, atau warga kota serta sistem hukum tersendiri yang dianut
untuk menunjukkan suatu wilayah tertentu yang secara hukum disebut kota.[1]
Diantara ciri masyarakat kota
atau perkotaan seperti yang telah disebutkan, adalah terpenuhnya berbagai
sarana dan fasilitas hidup warganya serta kemajuan masyarakatnya, apabila
dibandingkan dengan warga desa. Namun jika diteliti secara seksama tidak selalu
demikian bahkan sebaliknya ada keterbelakangan di kota. Adanya perbedaan secara
dikotomi antara kota dengan pedesaan dalam realitanya tidak selalu benar.
Tampaknya, karena dalam
segi-segi tertentu kota lebih maju, maka masyarakat kota juga lebih maju dalam
perjalanan menuju keterbelakangan. Hal itu dapat di amati dari ciri-ciri utama
pembangunan, seperti pembagian pendapatan dan kekayaan yang semakin tidak
merata, berbagai kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, disamping
penyebaran ekonomi subsistensi di perkotaan. Ciri-ciri keterbelakangan
perkotaan itu antara lain, seperti kasus kota Jakarta (Hans Dieter Evers, 1985:
94):
1.
Penumpukan kekayaan yang
semakin terpusat pada golongan elite, kelas atas, dan adanya distribusi
pendapatan yang makin lama makin tidak merata.
2.
Sisi lain, semakin
banyaknya terungkap kasus-kasus korupsi, manipulasi dan lain-lain dalam upaya
menumpuk kekayaan diantara golongan elite, dan pembelian tanah besar-besaran
kepada rakyat jelata, baik suka rela maupun secara paksa dengan dalih
pembangunan atau pembebasan tanah untuk proyek pembangunan.
3.
Jumlah orang kaya di kota,
jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan penduduk kota seluruhnya. Mayoritas
penduduk kota harus berjuang dengan usaha keras tanpa lelah dan waktu untuk
bisa hidup, dan dalam persentase yang tinggi, hidup dibawah garis kemiskinan.[2]
2.
Masyarakat Pedesaan
Desa dicirikan dengan hal-hal yang
berlawanan atau berbeda dengan ciri kota dari aspek morfologi, bangunan rumah
penduduk di desa umumnya jarang atau terpencar. Desa sebagai tempat tinggal
penduduk relatif kecil atau sedikit. Organisasi desa relatif sederhana, dan
hubungan antara anggota masyarakat intim, dengan ciri kekerabatan, persaudaraan
atau gotong-royong yang masih tampak kuat.[3]
Seperti halnya kota, desapun memilki
karakteristik yang dapat dilihat dari aspek morfologi, aspek jumlah penduduk,
aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya serta aspek hukum.
a.
Dari
aspek morfologi, desa ialah pemamfaatan lahan atau tanah oleh penduduk atau
masyarakat yang bersifat agraris, serta
bangunan tempat tinggal yang terpencar (jarang).
b.
Dari
aspek jumlah penduduk, maka desa didiami oleh sejumlah kecil penduduk dengan
kepadatan rendah.
c.
Dari
aspek ekonomi, ialah wilayah yang penduduk atau masyarakatnya bermata percarian
pokok dibidang pertanian, bercocok tanam atau agraria atau nelayan.
d.
Dari
aspek sosial budaya, desa itu tampak dari hubungan sosial antar penduduknya
yang bersifat khas, yakni hubungan kekeluargaan bersifat pribadi, tidak banyak
pilihan dan kurang tampak adanya pengkotaan, atau dengan kata lain bersifat
homogen, serta bergotong royong.
e.
Dari
aspek hukum, desa merupakan kesatuan wilayah hukum tersendiri, (P.J.M. Nas,
1979 : 28-29 dan Soetardjo, 1984 : 16).
Yang menjadi unsur penbangunan dari
kesatuan hukum masyarakat di indonesia menurut Soetardjo (1984 : 65) ialah:
1)
Faktor
genealogis,
2)
Faktor
teritorial dan
3)
Faktor
campuran dari kedua hal itu (teritorial genealogis).
Sedangkan menurut Koentjaraningrat
apa yang dikemukakan oleh Soetardjo tersebut ditambah lagi menjadi empat faktor
yang mendasari kehidupan masyarakat di desa, ialah:
1)
Hubungan
kekerabatan (geneologis);
2)
Hubungan
tinggal dekat (teritorial);
3)
Prinsip
tujuan hidup dan
4)
Prinsip
ikatan dari atas, (S Imam Asy’ari, 1983 : 82).[4]
Untuk memenuhi kepentingan hidupnya
manusia secra bersama-sama mewujudkan suatu masyarakat, dan kemudian menempati
suatu teritorial yang tepat. Banayak alasan untuk membentuknya demikian,
dianataranya yang pokok ialah:
a.
Untuk
hidup, yakni memenuhi makan, pakaiandan perumahan (keperluan fisik):
b.
Untukmempertahankan
hidupnya terhadap ancaman dari luar; dan
c.
Untuk
mencapai kemajuan dalam hidupnya (Soetardjo, 1984 : 18 dan seterusnya).[5]
Ciri
khas masyarakat desa dikontraskan dengan ciri khas masyarakat kota atau
masyarakat industri sehingga seolah-olah ada perbedaan secara dikotomis.
Masyarakat
desa selalu dikonotasikan dengan ciri tradisional, kuatnya ikatan dengan alam,
cratnya ikatan kelompok, guyup rukun, gotong-royong, alon-alon waton kelakon
gremet-gremet asal selamet, paternalistik dan sebagainya, atau yang semakna
dengan community.
Secara
sederhana, namun sangat tepat Sanapiah Faizal (1981 : 12-13) memberikan ciri
khas masyarakat desa itu sebagai:
1.
Masysarakat
keluarga
Sebagai
masyarakat keluarga dapat juga dikatakan sebagai masyarakat paguyuban, karena
masyarakat desa itu:
a)
Saling
kenal mengenal dengan baik diantara yang satu dengan lainnya.
b)
Memiliki
keintiman yang tinggi di kalangan warganya.
c)
Memiliki
rasa persaudaraan dan persekutuan yang tinggi.
d)
Memiliki
jalinan emosional yang kuat di kalangan warganya, dan
e)
Saling
bantu membantu, tolong-menolong atas dasar kekeluargaan.
2.
Masyarakat
paternalistik
Sebagai
masyarakat paternalistik, tampak dari para remaja dan anak-anak atau yang
berstatus sebagai anak, lebih banyak “menerima” atau “pasrah” kepada keputusan
atau apa yang menjadi keinginan “orang tua”, dalam interaksi sosial mereka,
termasuk dengan “mertua”. Ada perasaan “kualat” untuk menentang dan bersikap “berani”
pada orangtua, rasa hormat dan meminta “keselamatan” dari padanya, masih terasa
melekat dan mencerminkan perilaku anak atau remaja desa sehari-hari.
Juga
didalam kehidupan keagamaan, gejala kebapak-an seperti dalam kehidupankeluarga
pun masih tampak kuat. Demikian juga dalam segi pemerintahan, bisa diduga bahwa
rakyat atau orang awam akan menerima saja apa yang menjadi kebijaksanaan “sang
pemimpin.
Sikap
menerima dan ketunduk-an terhadap bapak-bapak Pamong Desanya, diterima sebagai
cerminan sopan santun kepada pemimpin dan “orang-orang sepuh”. Gejala demikian
makin terasa dan tampak di masyarakat desa yang relatif terpencil atau jauh
dari perkotaan.
Kuatnya
ikatan manusia dengan alam yang mendasari kesatuan masyarakat dan pemerintahan
desa, mempunyai pengaruh besar dalam hidup kejiwaan/kerohanian masyarakat,
sehingga “orang barat” menamakan pandangan sebagai “animisme”. Orang desa
selalu memperhatikan gerak benda-benda di alam ini, sebab selamat
celakanya,senang susahnya,makmur melaratnya, mati hidupnya tergantung dari
gerak alam. Rakyat di desa sejak beratus-ratus tahun melakukan cara hidup yang
dikuasai oleh gerak alam (natuurgodsdienst), juga akibat politik penjajah yang
juga ratusan tahun berkuasa di tanah air ini, memberi tekanan yang keras dan berat
kepada hidup masyarakat desa lahir dan batin. Orang desa ditekan dengan
berbagai pajak, wajib kerja kepada pemerintah, kultuurstelsel, penjaga keamanan
umum,memerintah rakyat yang tak mengenal batas oleh pemimpin/pejabat
pemerintah, upah yang sangat rendah, kerja rodi dan lain-lain, turut memberikan
warna khas bagi watak masyarakat desa. Juga keadaan alam yang kritis, seperti
tandus, kekurangan air, lahan yang sempit, atau selalu terkena genangan air
atau banjir dan sebagainya, menjadikan jiwa orang desa menjadi kuat. Sabar dan
tawakkal adalah menjadi sifat mereka dari abad ke abad, sebagai kekuatan mereka
untuk mempertahankan diri. Dalam kondisi seperti itu dan dialami secara terus
menerus sejak kecil oleh warga desa, membawa seseorang kedalam hidup asli,
yaitu yang tidak mengenal kepalsuan, ketidakadilan,kemurkaan, kedengkian,
kerendahan, kejahatan. Pendeknya suatu cara hidup, yang mendekatkan manusia
kepada DIA yang MEMBERI HIDUP. Itulah kekuasaan hati yang “Islam” demikian
gambaran masyarakat desa seperti di kemukakan oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo
(1984 : 125-135).
Disisi
lain kalu diperhatikan dengan seksama, dikalangan masyarakat desa terdapat
sistem pengendalian sosial (social control) yang kuat, ya karena sifat
keintiman dan emosional yang mewarnai, juga mengakibatkan kuatnya sistem sosial
kontrol itu. Wujudnya di smaping aturan hukum yang berlaku sesuai dengan
ketentuan pemerintah, terdapat juga sistem pengawasan sosial yang bersifat
informal, anatara lain berupa:
1)
Pujian
atau celaan
Bagi
warga masyarakat yang berperilaku baik atau positif maka sebagai imbalannya
(yang bersifat positif) adalah pujian, sanjungan, rasa hormat, kesediaan
menolong dan lain-lain; dan sebaliknya yang bersifat negatif, sanksinya berupa
celaan, ejekan, didesas-desuskan, dikucilkan masyarakat dan lain-lain.
2)
Keluarga
terdekat mempunyai beban mengingatkan, memperbaiki atau menyembuhkan perilaku
yang menyimpang dari anggotanya.
3)
Para
sesepuh desa, para orangtua dan pemimpin/pejabat desa juga mempunyai kewajiban
dan tanggung jawab terlaksanaya sosial kontrol.
Sebagian besar penduduk muslim
tinggal di desa, dan kebutuhan-kebutuhan mereka berkenaan dengan pertanian dan
kelangsungan hidup, yang menadsar dan sangat mencolok, diabaikan sistem-sistem
informasi yang ada. Penduduk desa cenderung memiliki tradisi lisan yang kuat.[6]
B. PERBEDAAN
KARAKTERISTIK MASYARAKAT KOTA DAN DESA
Pada mulanya masyarakat kota
sebelumnya adalah masyarakat pedesaan dan pada akhirnya masyarakat pedesaan
tersebut terbawa sifat-sifat masyarakat perkotaan, dan melupakan kebiasaan
sebagai masyarakat pedesaannya.
Perbedaan masyarakat pedesaan dan
masyarakat kota adalah bagaimana cara mereka mengambil sikap dan kebiasaan
dalam memecahkan suatau permasalahan.[7]
Dari karakteristik yang telah
diajukan baik karakteristik kota maupun desa kita dapat membuat perbedaan
diantara keduanya.
Dikutipkan disini apa yang
dikemukakan oleh P.J.M Nas, (1979 : 35) yang mengutip pendapat Constandse,
sebagai berikut :
1)
Kota
bersifat besar dan memberikan gambaran yang jelas, sedangkan pedasaan itu kecil
dan bercampur-baur, tanpa gambaran yang tegas.
2)
Kota
mengenal pembagian kerja yang luas, desa (pedalaman) tidak.
3)
Struktur
sosial di kota mengenal differensiasi yang luas sedangkan di pedasaan relatif
sedserhana.
4)
Individualitas
memainkan peranan penting dalam kebudayaan kota, sedangkan di pedesaan hal ini
kurang penting, di pedesaan menghayati hudupnya terutama dalam kelompok primer.
5)
Kota
mengarahkan gaya-hidup pada kemajuan, sedangkan pedesaan lebih berorientasi
pada tradisi, dan cenderung pada konservatisme.[8]
Perbedaan karakteristik masyarakat
kota dan desa dapat dilihat dari beberapa faktor, yaitu:
a.
Sebagai ciri sosial ekonomi
Pelapisan sosial ekonomi, perbedaan
tingkat pendidkan dan status sosial dapat menimbulkan suatu keadaan yang heterogen.
Heteroginitas tersebut dapat berlanjut dan memacu adanya persaingan,
lebih-lebih bila jumlah penduduk di kota semakin bertambah banyak, dan dengan
adanya sekolahsekolah yang beraneka ragam terjadilah berbagai spesialisasi
dibidang keterampilan ataupun dibidang pencaharian.
b.
Individualisme, perbedaan status sosial ekonomi maupun
kultural dapat menimbulkan sifat “individualisme” sifat kegotong royongan yang
murni sudah sangat jarang dijumpai di kota. Dalam hubungan ini pergaulan tatap
muka secara langsung dan dalam ukuran waktu yang lam sudah mulai jarang
terjadi, karena komunikasi lewat telepon sudah menjadi alat penghubung yang
bukan lagi merupakan suatu kemewahan.
c.
Toleransi sosial, kesibukan masing-masing warga kota dalam
tempo yang cukup tinngi dapat mengurangi
perhatianya kepada sesama.
d.
Jarak sosial, kepadatan penduduk di kota-kota memang pada
umumnya dapat dikatakan cukup tinggi. Secara fisik, di jalan, di pasar, di toko,
di bioskop, dan di tempat yang lain warga kota berdekatan,tetapi dari segi
sosial berjauhan karena perbedaan kebutuhan dan kepentingan.
e.
Pernilain sosial, perbedaan status, perbedaan kepentingan,
dan situasi kondisi kehidupan mempunyai pengaruhterhadap sistem penilaian yang
berbeda.[9]
C.
Penyebab perbedaan karakteristik masyarakat kota dan desa
Modernisasi
dan perubahan masyarakat.
Anthony Giddens berpendapat bahwa
modernitas ibarat pedang bermata dua,yakni membawa perkembangan positif dan
negatif. Menurut Giddens modernitas itulah yang melandasi “bayangan ancaman
tentang ketidakberartian pribadi. Segala sesuatu yang berarti telah diasingkan
dari kehidupan sehari-hari, segala sesuatu yang berarti dalam kehidupan kini
telah ditindas. Lanjut menurut Giddens, dalam menganalisis mengenai gejala
modernitas.
Modernisasi menunjukkan kepada
serentetan proses perubahan sosial (social change) yang terjadi dalam
masyarakat. Perubahan tersebut menyangkut pada segenap dimensi kehidupan
masyarakat yang biasanya dialami oleh individu atau masyarakat secara
keseluruhan. Sebagai proses perubahan, secara historik,modernisasi yang terjadi
dalam masyarakat berkembang, merupakan dampak proses industrialisasi,
urbanisasi dan perkembangan pemikiran dan iptek.
Modernisasi masyarakat, secara umum
dapat dirumuskan sebagai penerapan pengetahuan ilmiah dalam segala aktivitas
kehidupan masyarakat. Kondisi modernitas
jelas memengaruhi manusia, kebanyakan pakar melihat gejala modernitas sebagai
sesuatu yang negatif, dalam arti mempertentangkan modernitas dengan masyarakat
tradisional atau pra-modern. Akibatnya, mereka menghasilkan konsep (dikotomi)
yang membandingkan dua keadaan; modern dan tradisional. Analisis
mereka ditandai oleh ketergantungan pada landasan teoretis tertentu (dan
adakalanya juga pada landasan ideologi atau etika tertentu).
Krisman Kumar menyebutkan ada
beberapa karakteristik masyarakat modern, yaitu sebagai berikut.
1.
Individualisme,
dalam masyarakat adalah individu, bukan
komunitas suku, kelompok atau bangsa. Individu memiliki kebebasan pribadi,
bebas dari tekanan ikatan kelompok, bebas berpindah dari kelompok yang
diingkannya, bebas menetukan dan bertanggung jawab sendiri atas kesuksesan
maupun kegagalan tindakannya sendiri.
2.
Rasionalitas,
masyarakat sudah mengedepankan nilai-nilai
rasionalitas dan nyaris menyampinngkan nilai-nilai spiritual.
3.
Ekonomisme,
nilai kehidupan sosial didominasi oleh aktivitas ekonomi, tujuan
ekonomi, lriteria ekonomi, dan prestasi ekonomi.
4.
Demokratisme,
seluruh kebijakan didasarkan atas kebijakan
yang sifatnya demokratis dan masyarakat
cenderung tidak menyukai pemimpin yang otokrasi.
5.
Teknologisasi,
moderenisasi cenderung memperluas jangkauan
ruang proses globalisasi. Artinya kecenderungan mengikuti kawasan geografis yang
makin luas dan akhirnya meliputi dunia. Moderenisasi juga berkembang
makin mendalam, menjangkau bidang kehidupan sehari-hari yang sifatnya pribadi,
(misalnya: keyakinan agama, perilaku seksual, selera konsumsi, pola hiburan,
dan sebagainya).
6.
Sekularisasi,
moderenisasi cenderung membawa manusia
berpandangan bahwa kehidupan nyata lebih penting dari pada kehidupan spiritual,
dunia lebih penting dari pada akhirat.
Beberapa
ciri umum moderenitas diatas, tercermin dalam berbagai sub bidang kehidupan
sosial. Para sosiolog biasanya menunjukkan sejumlah fenomena baru yang muncul
dalam masyarakat moderen. Dibidang ekonomi terlihat fonomena sebagai berikut.
1.
Pertumbuhan
ekonomi sangat cepat. Adakalanya memang terjadi juga resesi lokal tetapi secara
menyeluruh dan dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi melampaui kecepatan
pertumbuhan yang pernah terjadi dalam periode sejarah sebelumnya.
2.
Terjadinya
pergeseran dari produksi agraris kepada industri.
3.
Konsentrasi
produksi ekonomi berpusat di kota-kota besar dan di kawasan urban.
4.
Lebih
banyak menggunakan tenaga mesin sebagai pengganti tenaga kerja manusia dan
hewan.
5.
Telah
menyebarnya temuan teknologi keseluruh aspek kehidupan sosial masyarakat dan
nyaris tidak punya batas.
6.
Terbukanya
pasar tenaga kerja berkompetisi bebas yang berdasarkan kemampuan.
7.
Terkonsentrasinya
tenaga kerja di pabrik dan perusahaan raksasa.
8.
Pentingnya
peran pengusaha, manajer, atau “kapten industri” dalam mengendalikan produksi.
Aspek-aspek masyarakat moderen tersebut diatas
tercermin dalam tata kemasyarakatan yang sifatnya lebih umum, yaitu dalam
struktur sosial masyarakat. Dalam masyarakat moderen tumbuh kelompok-kelompok
dengan posisi sosial dalam ekonomi yang sama dengan mempunyai semacam
kepentingan bersama. Kelompok-kelompok itu dipandang sebagai kelas-kelas
sosial. Kelas petani, penyewa tanah, pengrajin akan berkurang artinya ditengah masyarakat dan di pandang sebagai
kaum marjinal. Sebaliknya kelas buruh industri, kels intelektual, kelas manajer
perindustrian mendapat tempat terhormat di mata masyarakat dan di nilai sangat
berjasa dalam melakukan perubahan.
Sistem
ekonomi semacam ini merobak keseluruhan struktur kelas dan sratifikasi sosial
yang ada, sehingga akan memunculkan:
1.
Situasi pemilikan dan posisi pasar menjadi penentu
utamastatus sosial.
2.
Bagian terbesar penduduk mengalami proses proletarisasi dan
proses pemiskinan; mereka berubah menjadi tenaga kerja miskin disebabkan orang
kaya semakin mendapatkan kesempatan untuk bertambah kaya.
3.
Disisi lain terdapat kelompok kapitalis pemilik kapital yang
memperoleh kekayan dengan mengimvestasikan kembali keuntungan perusahaannya
untuk kepentingan diri mereka sendiri sehingga ketimpangan sosial makin
mencolok.
4.
Antara kelas proletar dan kapitalis muncul kelas menengah
yang makin besar jumlahnya.
Selain
itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era global ini telah sampai
pada apa yang disebut dengan the post industrial society, yaitu
masyarakat secara material telah sampai pada taraf makmur, peralatan-peralatan
telah terkendali secara mekanik dan otonatis, yang dapat mempersingkat kerja
sehingga hidup bertambah mudah, enak, dan nyaman. Tatkala prestasi bidang
prestasi bidang iptek dijadikan satu-satunya acuan dan ukuran keberhasilan,
yang terjadi adalah proses pendangklan kualitas hidup. Nilai-nilai kehidupan
seperti kebersamaan, solidaritas kasih sayang antar sesama, dan lain-lain mulai
tergeser.
Senada
dengan hal itu, menurut Amsal Bakhtiar, seiring dengan kemajuan sains dan
teknologi di Barat, nilai-nilai agama secara berangsur-angsur juga tergeser
bahkan berseberangan dengan ilmu.[10]
Faktor geografis memberi
pengaruh juga, misalnya:
1)
Faktor topografi setempat
yang memberikan suatu ajang hidup dan suatu bentuk adaptasi kepada penduduk.
2)
Faktor iklim yang dapat
memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap masyarakat.
3)
Faktor bencana alam seperti
letusan gunung, gempa bumi, banjir dan sebagainya yang harus dihadapi bersama.[11]
D. Pentingnya peningkatan kesejahteraan
sosial
Kesejahteraan sosial dimulai
dari perjuangan mewujudkan dan
menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri pribadi. Karena dari
diri pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat yang seimbang pula.
Kesejahteraan sosial dimulai dengan pendidikan
kejiwaan bagi setiap pribadi, keluarga, dan masyrakat, sehingga akhirnya
tercipta hubungan yang serasi diantara semua anggota masyarakat, yang salah
satu cerminnya adalah kesetian mengulurkan tangan sebelum di minta oleh yang
membutuhkannya, atau kesetiaan berkorban demi kepentingan orang banyak.
Jika dipandang dari sudut islam, kesejahteraan sosial dimulai dari
penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Tidak mungkin jiwa akan merasakan
ketenangan apabila kepribadian terpecah (split personality). Hal ini
dimulai dari kesadaran bahwa pilihan Allah apapun bentuknya, setelah usaha
maksimal adalah pilihan terbaik, yang selalu mengandung hikmah. Yang disertai
kessadaran bahwa Allah memerintahkan kepada manusia untuk berusaha semakisimal
mungkin, kemudian berserah diri kepada-Nya.[12]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Jika
dari uraian yang telah disebutkan, maka dapat disimpulkan karakteristik
masyarakat kota dan desa.
a. Kota mempunyai funsi-funsi khuisus (sehingga berbeda-beda antara kota dan
desa).
b. Mata pencaharian penduduknya di luar agraris.
c. Adanya spesialisasi pekerjaan warga kota dan desa.
d. Kepadatan penduduk.
e. Ukuranjumlah penduduk.
f.
Dari segi keagamaan antara kota dan
desa sangat berbeda.
g. Tempat pemikimannya.
h. Sifat-sifat warga antara kota dan desa yang sangat berbeda.
Walaupun
sebenarnya tidakkah perlu membedakan antara perkotaan dan pedesaan, tetapi kita
dapat mengetahui ciri-ciri karakteristik keduanya sebab dengan mengetahui
ciri-ciri antara masyarakat kota dengan masyarakat desa,kita dapat mengetahui
maslah-maslah sosial yang dihapi oleh masyarakat perkotaan maupun masyarakat
pedesaan.
Disatu
pihak kotamerupakan pusat jaringan kegiatan sosial
poloitik,ekonomi,pendidikan,kebudayaandan komunikasi,sehingga kota semakin
menjadi berkembang.
Sedangkan
pada masyarakat pedesaan di satu pihak mempunyai kelebihan yaitu hidup
yangpenuh gotong royomg anatara satu dengan yang lain, namun di lain pihak
banyak masalah sosial yang harus dipikirkan pemecahanya.
DAFTAR PUSTAKA
Asy’ari , Sapari Imam, Sosiologikota dan desa, 1993,Surabaya:Usaha
Nasional.
Fauzi , Muhammad, Agama Dan
Realitas Sosial Renungan Dan Jalan Menuju Kebahagiaan,2007, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hartomo, dan Arnicun Aziz, ilmu sosial dasar, 1997, Jakarta: Bumi
Aksara.
Sardar, Ziauddin, Dunia islam
abad 21, 1996, Bandung: Mizan Anggota IKAPI.
Soekanto, Soerjono, sosiologi suatu pengantar,2012, Jakarta : PT
RajaGafindo Persada.
[1] Sapari
Imam Asy’ari, Sosiologikota dan desa,(Surabaya:Usaha Nasional, 1993)
hlm.17-23
[5] Sapari
Imam Asy’ari. Op.cit. Hlm. 98.
[6] Ziauddin
Sardar. Dunia islam abad 21, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996)
Hlm.141
[7]
https://lorentfebrian.wordpress.com
[8] Sapari
Imam Asy’ari. Op.cit. Hlm. 24-25.
[9] Hartomo
dan Arnicun Aziz, ilmu sosial dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997)
Hlm.237-238
[10]
Soerjono Soekanto, sosiologi suatu pengantar,(Jakarta : PT RajaGafindo
Persada, 2012) hlm. 52-105
[11] Hartomo
dan Arnicun Aziz. Op.cit. Hlm. 242.
[12]
Muhammad Fauzi. Agama Dan Realitas Sosial Renungan Dan Jalan Menuju
Kebahagiaan,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007). Hlm. 125-126
Tidak ada komentar:
Posting Komentar