Selasa, 17 Desember 2019

Karakteristik Masyarakat Kota Dan Desa



BAB I
PENDAHULUAN

       A.    Latar Belakang

            Karakteristik adalah ciri khas suatu wilayah, seperti wilayah perkotaan ataupun perdesaan. Adapun karakteristik kota ditinjau dari aspek morfologi, antara kota dan pedesaan terdapat perbedaan bentuk fisik, seperti cara membangun bangunan-bangunan tempat tinggal. Dari aspek jumlah penduduk, dapat dipakai ukuran yang tepat untuk menyebut kota atau desa. Dari aspek sosial, dapat dilihat dari  hubungan antara penduduk atau warga kota atau desa. Dari aspek ekonomi, dapat dilihat dari cara hidup warga kota atau desa. Dari aspek hukum, dapat dilihat dari hak-hak dan kewajiban hukum bagi warga kota atau desa.
            Karakteristik umum masyarakat pedesaan yaitu masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri dalam hidup bermasyakat, yang biasa nampak dalam perilaku keseharian mereka. Berbeda dengan karakteristik masyarakat perkotaan, masyarakat pedesaan lebih mengutamakan kenyamanan bersama dibanding kenyamanan pribadi atau individu. Msyarakat perkotaan sering disebut sebagai urban community.

      B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimana karakteristik masyarakat kota dan desa?
  2. Apa perbedaan karakteristik masyarakat kota dan desa?
  3. Apa yang menyebabakan perbedaan karakteristik masyarakat kota dan desa?
C.        Tujuan

            1.      Untuk mengetahui karakteristik masyarakat kota dan desa.
            2.      Untuk mengetahui perbedaan-perbedaan karakteristik masyarakat kota dan desa.
            3.      Untuk mengetahui penyebab-penyebab perbedaan karakteristik kota dan desa.



BAB II
PEMBAHASAN

       A.      Karakteristik masyarakat kota dan desa

       1.  Masyarakat Perkotan

                  Kita yang hidup pada zaman mutakhir ini dapat dengan mudah mengamati dan menggambarkan apakah “kota” itu, sesuai dengan tolak ukur atau fokus perhatian kita masing-masing. Jika direnungkan, dari sejarah masa lampau “kota” itu tidak berbeda dengan “desa”, atau kota terjadi dari desa, sebagai tempat pemukiman manusia.
            Jadi aspek “manusia” dan “masyarakat” yang menciptakan lingkungan tempat mukimnya, kemudian menjadi desa atau kota, sesuai dengan perkembangan budaya mereka. Jika dilihat dari segi tersebut, maka kota adalah suatu ciptaan perbadaan ummat manusia. Kota sebagai hasil dari peradaban lahir dari pedesaan, tapi kota berbeda dengan pedesaan. Pedesaan sebagai “ daerah yang melindungi kota” (P.J.M. Nas, 1979 : 28). Kota seolah-olah mempunyai karakter tersendiri, menpunyai jiwa, organisasi, budaya atau peradaban tersendiri.
            Masyarakat perkotaan sering disebut juga sebagai urban community, pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupan serta ciri-ciri kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.
a.       Dari aspek morfologi, antara kota dan pedesaan terdapat perbedaan bentuk fisik, seperti cara membangun bangunan-bangunan tempat tinggal yang berjejal dan mencakar langit (tinggi) dan serba kokoh. Tetapi pada prakteknya kriteria itu sukar dipakai pengukuran, karena bnyak kita temukan di bagian-bagian kota tampak seprti desa misalnya di derah pinggiran kota, sebaliknya terdapat juga di desa-desa yang mirip kota, seprti di desa-desa pegunungan di Negara-negara laut tengah (Eropah).
b.      Dari aspek jumlah peduduk. Secara praktis jumlah penduduk ini dapat dipakai ukuran yang tepat untuk menyebut kota atau desa, meskipun juga tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan. Kriteria jumlah penduduk ini dapat secara mutlak atau dalam arti relatif yakni kepadatan penduduk dalam suatu wilayah. Sebagai contoh ada beberapa Negara misalnya di Amerika Serikat dan Meksiko, suatu tempat pemukiman yang dihuni oleh 2500 jiwa keatas disebut kota, sedangkan di Albania dan Swedia di atas jumlah 200 jiwa disebut kota.
Contoh lain seperti di kemukakan oleh W.F. Wilcox, daerah yang jumlah penduduk 100 hingga 1000 jiwa disebut village, dan 1000 jiwa ke atas disebut city (S.Imam Asy’ari, 1983 : 86). Memang terdapat batasan, seperti yang dipakai dalam Demografic Yearbook, batas-batas jumlah penduduk (sebuah kota) ialah : 200, 1000, 1500, 2000, 2500, 10000 dan 30000. Kadang-kadang ada kriteria lain yang dipakai secara berdampingan atau terlepas dari batas-batas tadi. Australia, memakai kriteria : Kelompok penduduk sejumlah : 1000 atau lebih dengan kepadatan minimum 500 orang permil persegi .
Kesulitannya jika hanya mendasarkan diri pada segi jumlah penduduk atau kepadatannya itu ialah : ciri-ciri khas dari suatu kota tidak tampak jelas; di samping itu akan berbeda-beda di berbagai daerah atau negara. Indonesia dan beberapa Negara di Asia Timur misalnya, banyak daerah yang jika ditilik dari jumlah penduduk dan kepadatannya, cukup tinggi, tetapi masih benar-benar bersifat agraris dan belum dapat dikatagorikan sebagai “kota”, sebaliknya di Amerika serikat di Los Angeles  dan Las Vegas , jumlah penduduk dan kepadatannya relatif rendah sekali, tetapi jelas mempunyai sifat khas sebagai “kota” bahkan “kota besar” jika di bandingkan debgan di Indonesia atau Asia yang lain.
c.       Dari aspek sosial, gejala kota dapat dilihat dari hubungan-hubungan sosial (social interelation dan social interaction) diantara penduduk atau warga kota, yakni yang bersifat kosmopolitan. Hubungan sosial yang bersifat impersonal sepintas lalu (super-ficial), berkotak-kotak, bersifat sering terjadi hubungan karena kepentingan dan lain-lain, orang lain bebas untuk memilih hunbungan sendiri. ( lihat: Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1976 : 435 dan Drs. M. Thalla, 1972: thl.).
d.      Dari aspek ekonomi, gejala kota dapat dilihat dari cara hidup warrga kota yakni bukan dari bidang pertanian atau agraria sebagai mata pencaharian pokoknya,tetapi dari bidang-bidang lain di segi produksi atau jasa. Kota berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi, perdagangan industri dan kegiatan pemerintahan serta jasa-jasa pelayanan yang lain. Ciri yang khas suatu kota ialah adanya pasar, pedagang, dan pusat perdagangan.
e.       Dari aspek hukum, pengertian kota yang dikaitkan dengan adanya hak-hak dan kewajiban hukum bagi penghuni, atau warga kota serta sistem hukum tersendiri yang dianut untuk menunjukkan suatu wilayah tertentu yang secara hukum disebut kota.[1]

                Diantara ciri masyarakat kota atau perkotaan seperti yang telah disebutkan, adalah terpenuhnya berbagai sarana dan fasilitas hidup warganya serta kemajuan masyarakatnya, apabila dibandingkan dengan warga desa. Namun jika diteliti secara seksama tidak selalu demikian bahkan sebaliknya ada keterbelakangan di kota. Adanya perbedaan secara dikotomi antara kota dengan pedesaan dalam realitanya tidak selalu benar.
                Tampaknya, karena dalam segi-segi tertentu kota lebih maju, maka masyarakat kota juga lebih maju dalam perjalanan menuju keterbelakangan. Hal itu dapat di amati dari ciri-ciri utama pembangunan, seperti pembagian pendapatan dan kekayaan yang semakin tidak merata, berbagai kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, disamping penyebaran ekonomi subsistensi di perkotaan. Ciri-ciri keterbelakangan perkotaan itu antara lain, seperti kasus kota Jakarta (Hans Dieter Evers, 1985: 94):
1.      Penumpukan kekayaan yang semakin terpusat pada golongan elite, kelas atas, dan adanya distribusi pendapatan yang makin lama makin tidak merata.
2.      Sisi lain, semakin banyaknya terungkap kasus-kasus korupsi, manipulasi dan lain-lain dalam upaya menumpuk kekayaan diantara golongan elite, dan pembelian tanah besar-besaran kepada rakyat jelata, baik suka rela maupun secara paksa dengan dalih pembangunan atau pembebasan tanah untuk proyek pembangunan.
3.      Jumlah orang kaya di kota, jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan penduduk kota seluruhnya. Mayoritas penduduk kota harus berjuang dengan usaha keras tanpa lelah dan waktu untuk bisa hidup, dan dalam persentase yang tinggi, hidup dibawah garis kemiskinan.[2]

2. Masyarakat Pedesaan

            Desa dicirikan dengan hal-hal yang berlawanan atau berbeda dengan ciri kota dari aspek morfologi, bangunan rumah penduduk di desa umumnya jarang atau terpencar. Desa sebagai tempat tinggal penduduk relatif kecil atau sedikit. Organisasi desa relatif sederhana, dan hubungan antara anggota masyarakat intim, dengan ciri kekerabatan, persaudaraan atau gotong-royong yang masih tampak kuat.[3]
            Seperti halnya kota, desapun memilki karakteristik yang dapat dilihat dari aspek morfologi, aspek jumlah penduduk, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya serta aspek hukum.
a.       Dari aspek morfologi, desa ialah pemamfaatan lahan atau tanah oleh penduduk atau masyarakat  yang bersifat agraris, serta bangunan tempat tinggal yang terpencar (jarang).
b.      Dari aspek jumlah penduduk, maka desa didiami oleh sejumlah kecil penduduk dengan kepadatan rendah.
c.       Dari aspek ekonomi, ialah wilayah yang penduduk atau masyarakatnya bermata percarian pokok dibidang pertanian, bercocok tanam atau agraria atau nelayan.
d.      Dari aspek sosial budaya, desa itu tampak dari hubungan sosial antar penduduknya yang bersifat khas, yakni hubungan kekeluargaan bersifat pribadi, tidak banyak pilihan dan kurang tampak adanya pengkotaan, atau dengan kata lain bersifat homogen, serta bergotong royong.

e.       Dari aspek hukum, desa merupakan kesatuan wilayah hukum tersendiri, (P.J.M. Nas, 1979 : 28-29 dan Soetardjo, 1984 : 16).
            Yang menjadi unsur penbangunan dari kesatuan hukum masyarakat di indonesia menurut Soetardjo (1984 : 65) ialah:
      1)      Faktor genealogis,
      2)      Faktor teritorial dan
      3)      Faktor campuran dari kedua hal itu (teritorial genealogis).

            Sedangkan menurut Koentjaraningrat apa yang dikemukakan oleh Soetardjo tersebut ditambah lagi menjadi empat faktor yang mendasari kehidupan masyarakat di desa, ialah:
      1)      Hubungan kekerabatan (geneologis);
      2)      Hubungan tinggal dekat (teritorial);
      3)      Prinsip tujuan hidup dan
      4)      Prinsip ikatan dari atas, (S Imam Asy’ari, 1983 : 82).[4]

            Untuk memenuhi kepentingan hidupnya manusia secra bersama-sama mewujudkan suatu masyarakat, dan kemudian menempati suatu teritorial yang tepat. Banayak alasan untuk membentuknya demikian, dianataranya yang pokok ialah:
a.       Untuk hidup, yakni memenuhi makan, pakaiandan perumahan (keperluan fisik):
b.      Untukmempertahankan hidupnya terhadap ancaman dari luar; dan
c.       Untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya (Soetardjo, 1984 : 18 dan seterusnya).[5]
           Ciri khas masyarakat desa dikontraskan dengan ciri khas masyarakat kota atau masyarakat industri sehingga seolah-olah ada perbedaan secara dikotomis.
           Masyarakat desa selalu dikonotasikan dengan ciri tradisional, kuatnya ikatan dengan alam, cratnya ikatan kelompok, guyup rukun, gotong-royong, alon-alon waton kelakon gremet-gremet asal selamet, paternalistik dan sebagainya, atau yang semakna dengan community.
           Secara sederhana, namun sangat tepat Sanapiah Faizal (1981 : 12-13) memberikan ciri khas masyarakat desa itu sebagai:

1.      Masysarakat keluarga
Sebagai masyarakat keluarga dapat juga dikatakan sebagai masyarakat paguyuban, karena masyarakat desa itu:
a)      Saling kenal mengenal dengan baik diantara yang satu dengan lainnya.
b)      Memiliki keintiman yang tinggi di kalangan warganya.
c)      Memiliki rasa persaudaraan dan persekutuan yang tinggi.
d)     Memiliki jalinan emosional yang kuat di kalangan warganya, dan
e)      Saling bantu membantu, tolong-menolong atas dasar kekeluargaan.

2.      Masyarakat paternalistik
Sebagai masyarakat paternalistik, tampak dari para remaja dan anak-anak atau yang berstatus sebagai anak, lebih banyak “menerima” atau “pasrah” kepada keputusan atau apa yang menjadi keinginan “orang tua”, dalam interaksi sosial mereka, termasuk dengan “mertua”. Ada perasaan “kualat” untuk menentang dan bersikap “berani” pada orangtua, rasa hormat dan meminta “keselamatan” dari padanya, masih terasa melekat dan mencerminkan perilaku anak atau remaja desa sehari-hari.
           Juga didalam kehidupan keagamaan, gejala kebapak-an seperti dalam kehidupankeluarga pun masih tampak kuat. Demikian juga dalam segi pemerintahan, bisa diduga bahwa rakyat atau orang awam akan menerima saja apa yang menjadi kebijaksanaan “sang pemimpin.
           Sikap menerima dan ketunduk-an terhadap bapak-bapak Pamong Desanya, diterima sebagai cerminan sopan santun kepada pemimpin dan “orang-orang sepuh”. Gejala demikian makin terasa dan tampak di masyarakat desa yang relatif terpencil atau jauh dari perkotaan.
           Kuatnya ikatan manusia dengan alam yang mendasari kesatuan masyarakat dan pemerintahan desa, mempunyai pengaruh besar dalam hidup kejiwaan/kerohanian masyarakat, sehingga “orang barat” menamakan pandangan sebagai “animisme”. Orang desa selalu memperhatikan gerak benda-benda di alam ini, sebab selamat celakanya,senang susahnya,makmur melaratnya, mati hidupnya tergantung dari gerak alam. Rakyat di desa sejak beratus-ratus tahun melakukan cara hidup yang dikuasai oleh gerak alam (natuurgodsdienst), juga akibat politik penjajah yang juga ratusan tahun berkuasa di tanah air ini, memberi tekanan yang keras dan berat kepada hidup masyarakat desa lahir dan batin. Orang desa ditekan dengan berbagai pajak, wajib kerja kepada pemerintah, kultuurstelsel, penjaga keamanan umum,memerintah rakyat yang tak mengenal batas oleh pemimpin/pejabat pemerintah, upah yang sangat rendah, kerja rodi dan lain-lain, turut memberikan warna khas bagi watak masyarakat desa. Juga keadaan alam yang kritis, seperti tandus, kekurangan air, lahan yang sempit, atau selalu terkena genangan air atau banjir dan sebagainya, menjadikan jiwa orang desa menjadi kuat. Sabar dan tawakkal adalah menjadi sifat mereka dari abad ke abad, sebagai kekuatan mereka untuk mempertahankan diri. Dalam kondisi seperti itu dan dialami secara terus menerus sejak kecil oleh warga desa, membawa seseorang kedalam hidup asli, yaitu yang tidak mengenal kepalsuan, ketidakadilan,kemurkaan, kedengkian, kerendahan, kejahatan. Pendeknya suatu cara hidup, yang mendekatkan manusia kepada DIA yang MEMBERI HIDUP. Itulah kekuasaan hati yang “Islam” demikian gambaran masyarakat desa seperti di kemukakan oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo (1984 : 125-135).

           Disisi lain kalu diperhatikan dengan seksama, dikalangan masyarakat desa terdapat sistem pengendalian sosial (social control) yang kuat, ya karena sifat keintiman dan emosional yang mewarnai, juga mengakibatkan kuatnya sistem sosial kontrol itu. Wujudnya di smaping aturan hukum yang berlaku sesuai dengan ketentuan pemerintah, terdapat juga sistem pengawasan sosial yang bersifat informal, anatara lain berupa:
1)      Pujian atau celaan
Bagi warga masyarakat yang berperilaku baik atau positif maka sebagai imbalannya (yang bersifat positif) adalah pujian, sanjungan, rasa hormat, kesediaan menolong dan lain-lain; dan sebaliknya yang bersifat negatif, sanksinya berupa celaan, ejekan, didesas-desuskan, dikucilkan masyarakat dan lain-lain.
2)      Keluarga terdekat mempunyai beban mengingatkan, memperbaiki atau menyembuhkan perilaku yang menyimpang dari anggotanya.
3)      Para sesepuh desa, para orangtua dan pemimpin/pejabat desa juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terlaksanaya sosial kontrol.
           Sebagian besar penduduk muslim tinggal di desa, dan kebutuhan-kebutuhan mereka berkenaan dengan pertanian dan kelangsungan hidup, yang menadsar dan sangat mencolok, diabaikan sistem-sistem informasi yang ada. Penduduk desa cenderung memiliki tradisi lisan yang kuat.[6]
                                                
B. PERBEDAAN KARAKTERISTIK MASYARAKAT KOTA DAN DESA

            Pada mulanya masyarakat kota sebelumnya adalah masyarakat pedesaan dan pada akhirnya masyarakat pedesaan tersebut terbawa sifat-sifat masyarakat perkotaan, dan melupakan kebiasaan sebagai masyarakat pedesaannya.
            Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat kota adalah bagaimana cara mereka mengambil sikap dan kebiasaan dalam memecahkan suatau permasalahan.[7]
            Dari karakteristik yang telah diajukan baik karakteristik kota maupun desa kita dapat membuat perbedaan diantara keduanya.

            Dikutipkan disini apa yang dikemukakan oleh P.J.M Nas, (1979 : 35) yang mengutip pendapat Constandse, sebagai berikut :
    1)      Kota bersifat besar dan memberikan gambaran yang jelas, sedangkan pedasaan itu kecil dan bercampur-baur, tanpa gambaran yang tegas.
     2)      Kota mengenal pembagian kerja yang luas, desa (pedalaman) tidak.
     3)      Struktur sosial di kota mengenal differensiasi yang luas sedangkan di pedasaan relatif sedserhana.
     4)      Individualitas memainkan peranan penting dalam kebudayaan kota, sedangkan di pedesaan hal ini kurang penting, di pedesaan menghayati hudupnya terutama dalam kelompok primer.
     5)      Kota mengarahkan gaya-hidup pada kemajuan, sedangkan pedesaan lebih berorientasi pada tradisi, dan cenderung pada konservatisme.[8]

            Perbedaan karakteristik masyarakat kota dan desa dapat dilihat dari beberapa faktor, yaitu:
      a.      Sebagai ciri sosial ekonomi
Pelapisan sosial ekonomi, perbedaan tingkat pendidkan dan status sosial dapat menimbulkan suatu keadaan yang heterogen. Heteroginitas tersebut dapat berlanjut dan memacu adanya persaingan, lebih-lebih bila jumlah penduduk di kota semakin bertambah banyak, dan dengan adanya sekolahsekolah yang beraneka ragam terjadilah berbagai spesialisasi dibidang keterampilan ataupun dibidang pencaharian.
    b.      Individualisme, perbedaan status sosial ekonomi maupun kultural dapat menimbulkan sifat “individualisme” sifat kegotong royongan yang murni sudah sangat jarang dijumpai di kota. Dalam hubungan ini pergaulan tatap muka secara langsung dan dalam ukuran waktu yang lam sudah mulai jarang terjadi, karena komunikasi lewat telepon sudah menjadi alat penghubung yang bukan lagi merupakan suatu kemewahan.
     c.       Toleransi sosial, kesibukan masing-masing warga kota dalam tempo yang cukup tinngi  dapat mengurangi perhatianya kepada sesama.
     d.      Jarak sosial, kepadatan penduduk di kota-kota memang pada umumnya dapat dikatakan cukup tinggi. Secara fisik, di jalan, di pasar, di toko, di bioskop, dan di tempat yang lain warga kota berdekatan,tetapi dari segi sosial berjauhan karena perbedaan kebutuhan dan kepentingan.
   e.      Pernilain sosial, perbedaan status, perbedaan kepentingan, dan situasi kondisi kehidupan mempunyai pengaruhterhadap sistem penilaian yang berbeda.[9]

C. Penyebab perbedaan karakteristik masyarakat kota dan desa

            Modernisasi dan perubahan masyarakat.
            Anthony Giddens berpendapat bahwa modernitas ibarat pedang bermata dua,yakni membawa perkembangan positif dan negatif. Menurut Giddens modernitas itulah yang melandasi “bayangan ancaman tentang ketidakberartian pribadi. Segala sesuatu yang berarti telah diasingkan dari kehidupan sehari-hari, segala sesuatu yang berarti dalam kehidupan kini telah ditindas. Lanjut menurut Giddens, dalam menganalisis mengenai gejala modernitas.
            Modernisasi menunjukkan kepada serentetan proses perubahan sosial (social change) yang terjadi dalam masyarakat. Perubahan tersebut menyangkut pada segenap dimensi kehidupan masyarakat yang biasanya dialami oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan. Sebagai proses perubahan, secara historik,modernisasi yang terjadi dalam masyarakat berkembang, merupakan dampak proses industrialisasi, urbanisasi dan perkembangan pemikiran dan iptek.
            Modernisasi masyarakat, secara umum dapat dirumuskan sebagai penerapan pengetahuan ilmiah dalam segala aktivitas kehidupan masyarakat.  Kondisi modernitas jelas memengaruhi manusia, kebanyakan pakar melihat gejala modernitas sebagai sesuatu yang negatif, dalam arti mempertentangkan modernitas dengan masyarakat tradisional atau pra-modern. Akibatnya, mereka menghasilkan konsep (dikotomi) yang membandingkan dua keadaan; modern dan tradisional. Analisis mereka ditandai oleh ketergantungan pada landasan teoretis tertentu (dan adakalanya juga pada landasan ideologi atau etika tertentu).

            Krisman Kumar menyebutkan ada beberapa karakteristik masyarakat modern, yaitu sebagai berikut.
1.      Individualisme, dalam masyarakat adalah individu, bukan komunitas suku, kelompok atau bangsa. Individu memiliki kebebasan pribadi, bebas dari tekanan ikatan kelompok, bebas berpindah dari kelompok yang diingkannya, bebas menetukan dan bertanggung jawab sendiri atas kesuksesan maupun kegagalan tindakannya sendiri.
2.      Rasionalitas, masyarakat sudah mengedepankan nilai-nilai rasionalitas dan nyaris menyampinngkan nilai-nilai spiritual.
3.      Ekonomisme, nilai kehidupan sosial  didominasi oleh aktivitas ekonomi, tujuan ekonomi, lriteria ekonomi, dan prestasi ekonomi.
4.      Demokratisme, seluruh kebijakan didasarkan atas kebijakan yang sifatnya demokratis dan masyarakat  cenderung tidak menyukai pemimpin yang otokrasi.
5.      Teknologisasi, moderenisasi cenderung memperluas jangkauan ruang proses globalisasi. Artinya kecenderungan mengikuti kawasan geografis yang makin luas dan akhirnya meliputi dunia. Moderenisasi juga berkembang makin mendalam, menjangkau bidang kehidupan sehari-hari yang sifatnya pribadi, (misalnya: keyakinan agama, perilaku seksual, selera konsumsi, pola hiburan, dan sebagainya).
6.      Sekularisasi, moderenisasi cenderung membawa manusia berpandangan bahwa kehidupan nyata lebih penting dari pada kehidupan spiritual, dunia lebih penting dari pada akhirat. 
         
        Beberapa ciri umum moderenitas diatas, tercermin dalam berbagai sub bidang kehidupan sosial. Para sosiolog biasanya menunjukkan sejumlah fenomena baru yang muncul dalam masyarakat moderen. Dibidang ekonomi terlihat fonomena sebagai berikut.
1.      Pertumbuhan ekonomi sangat cepat. Adakalanya memang terjadi juga resesi lokal tetapi secara menyeluruh dan dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi melampaui kecepatan pertumbuhan yang pernah terjadi dalam periode sejarah sebelumnya.
2.      Terjadinya pergeseran dari produksi agraris kepada industri.
3.      Konsentrasi produksi ekonomi berpusat di kota-kota besar dan di kawasan urban.
4.      Lebih banyak menggunakan tenaga mesin sebagai pengganti tenaga kerja manusia dan hewan.
5.      Telah menyebarnya temuan teknologi keseluruh aspek kehidupan sosial masyarakat dan nyaris tidak punya batas.
6.      Terbukanya pasar tenaga kerja berkompetisi bebas yang berdasarkan kemampuan.
7.      Terkonsentrasinya tenaga kerja di pabrik dan perusahaan raksasa.
8.      Pentingnya peran pengusaha, manajer, atau “kapten industri” dalam mengendalikan produksi.
     Aspek-aspek masyarakat moderen tersebut diatas tercermin dalam tata kemasyarakatan yang sifatnya lebih umum, yaitu dalam struktur sosial masyarakat. Dalam masyarakat moderen tumbuh kelompok-kelompok dengan posisi sosial dalam ekonomi yang sama dengan mempunyai semacam kepentingan bersama. Kelompok-kelompok itu dipandang sebagai kelas-kelas sosial. Kelas petani, penyewa tanah, pengrajin akan berkurang artinya  ditengah masyarakat dan di pandang sebagai kaum marjinal. Sebaliknya kelas buruh industri, kels intelektual, kelas manajer perindustrian mendapat tempat terhormat di mata masyarakat dan di nilai sangat berjasa dalam melakukan perubahan.

     Sistem ekonomi semacam ini merobak keseluruhan struktur kelas dan sratifikasi sosial yang ada, sehingga akan memunculkan:
1.      Situasi pemilikan dan posisi pasar menjadi penentu utamastatus sosial.
2.      Bagian terbesar penduduk mengalami proses proletarisasi dan proses pemiskinan; mereka berubah menjadi tenaga kerja miskin disebabkan orang kaya semakin mendapatkan kesempatan untuk bertambah kaya.
3.      Disisi lain terdapat kelompok kapitalis pemilik kapital yang memperoleh kekayan dengan mengimvestasikan kembali keuntungan perusahaannya untuk kepentingan diri mereka sendiri sehingga ketimpangan sosial makin mencolok.
4.      Antara kelas proletar dan kapitalis muncul kelas menengah yang makin besar jumlahnya.
           Selain itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era global ini telah sampai pada apa yang disebut dengan the post industrial society, yaitu masyarakat secara material telah sampai pada taraf makmur, peralatan-peralatan telah terkendali secara mekanik dan otonatis, yang dapat mempersingkat kerja sehingga hidup bertambah mudah, enak, dan nyaman. Tatkala prestasi bidang prestasi bidang iptek dijadikan satu-satunya acuan dan ukuran keberhasilan, yang terjadi adalah proses pendangklan kualitas hidup. Nilai-nilai kehidupan seperti kebersamaan, solidaritas kasih sayang antar sesama, dan lain-lain mulai tergeser.
           Senada dengan hal itu, menurut Amsal Bakhtiar, seiring dengan kemajuan sains dan teknologi di Barat, nilai-nilai agama secara berangsur-angsur juga tergeser bahkan berseberangan dengan ilmu.[10]

                Faktor geografis memberi pengaruh juga, misalnya:
     1)      Faktor topografi setempat yang memberikan suatu ajang hidup dan suatu bentuk adaptasi kepada penduduk.
      2)      Faktor iklim yang dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap masyarakat.
    3)      Faktor bencana alam seperti letusan gunung, gempa bumi, banjir dan sebagainya yang harus dihadapi bersama.[11]

D. Pentingnya peningkatan kesejahteraan sosial

                Kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan  mewujudkan dan menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri pribadi. Karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat yang seimbang pula.
                 Kesejahteraan sosial dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi, keluarga, dan masyrakat, sehingga akhirnya tercipta hubungan yang serasi diantara semua anggota masyarakat, yang salah satu cerminnya adalah kesetian mengulurkan tangan sebelum di minta oleh yang membutuhkannya, atau kesetiaan berkorban demi kepentingan orang banyak.
                Jika dipandang dari sudut  islam, kesejahteraan sosial dimulai dari penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Tidak mungkin jiwa akan merasakan ketenangan apabila kepribadian terpecah (split personality). Hal ini dimulai dari kesadaran bahwa pilihan Allah apapun bentuknya, setelah usaha maksimal adalah pilihan terbaik, yang selalu mengandung hikmah. Yang disertai kessadaran bahwa Allah memerintahkan kepada manusia untuk berusaha semakisimal mungkin, kemudian berserah diri kepada-Nya.[12]

          



BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
            Jika dari uraian yang telah disebutkan, maka dapat disimpulkan karakteristik masyarakat kota dan desa.
a.      Kota mempunyai funsi-funsi khuisus (sehingga berbeda-beda antara kota dan desa).
b.      Mata pencaharian penduduknya di luar agraris.
c.       Adanya spesialisasi pekerjaan warga kota dan desa.
d.      Kepadatan penduduk.
e.      Ukuranjumlah penduduk.
f.        Dari segi keagamaan antara kota dan desa sangat berbeda.
g.      Tempat pemikimannya.
h.      Sifat-sifat warga antara kota dan desa yang sangat berbeda.
            Walaupun sebenarnya tidakkah perlu membedakan antara perkotaan dan pedesaan, tetapi kita dapat mengetahui ciri-ciri karakteristik keduanya sebab dengan mengetahui ciri-ciri antara masyarakat kota dengan masyarakat desa,kita dapat mengetahui maslah-maslah sosial yang dihapi oleh masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan.
            Disatu pihak kotamerupakan pusat jaringan kegiatan sosial poloitik,ekonomi,pendidikan,kebudayaandan komunikasi,sehingga kota semakin menjadi berkembang.
            Sedangkan pada masyarakat pedesaan di satu pihak mempunyai kelebihan yaitu hidup yangpenuh gotong royomg anatara satu dengan yang lain, namun di lain pihak banyak masalah sosial yang harus dipikirkan pemecahanya.





DAFTAR PUSTAKA
Asy’ari , Sapari Imam, Sosiologikota dan desa, 1993,Surabaya:Usaha Nasional.
Fauzi , Muhammad,  Agama Dan Realitas Sosial Renungan Dan Jalan Menuju Kebahagiaan,2007,            Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hartomo, dan Arnicun Aziz, ilmu sosial dasar, 1997, Jakarta: Bumi Aksara.
Sardar, Ziauddin,  Dunia islam abad 21, 1996, Bandung: Mizan Anggota IKAPI.
Soekanto, Soerjono, sosiologi suatu pengantar,2012, Jakarta : PT RajaGafindo Persada.




[1] Sapari Imam Asy’ari, Sosiologikota dan desa,(Surabaya:Usaha Nasional, 1993) hlm.17-23
[2] Sapari Imam Asy’ari. Op.cit.  Hlm. 75-76.
[3] Sapari Imam Asy’ari. Op.cit.  Hlm. 101.
[4] Sapari Imam Asy’ari. Op.cit. Hlm. 93-95.                                        
[5] Sapari Imam Asy’ari. Op.cit. Hlm. 98.
[6] Ziauddin Sardar. Dunia islam abad 21, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996) Hlm.141
[7] https://lorentfebrian.wordpress.com
[8] Sapari Imam Asy’ari. Op.cit. Hlm. 24-25.
[9] Hartomo dan Arnicun Aziz, ilmu sosial dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997) Hlm.237-238
[10] Soerjono Soekanto, sosiologi suatu pengantar,(Jakarta : PT RajaGafindo Persada, 2012) hlm. 52-105
[11] Hartomo dan Arnicun Aziz. Op.cit. Hlm. 242.
[12] Muhammad Fauzi. Agama Dan Realitas Sosial Renungan Dan Jalan Menuju Kebahagiaan,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007). Hlm. 125-126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar