DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI ...... i
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang................................................................................. 1
B.
Rumusan
Masalah............................................................................ 1
C.
Tujuan
Penulisan.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 2
A.
Pengertian
Logika Induktif.............................................................. 2
B.
...... 3
C.
Kandungan
al-Q............................................................................... 7
D.
Qath’i
dan Dzanni Ayat-ayat al-Qur’an.......................................... 12
1.
Nash
Qath’i.......................................................................... 13
2.
Nash
Dzanni......................................................................... 14
BAB III PENUTUP............................................................................................... 15
A.
Kesimpulan...................................................................................... 15
B.
Saran................................................................................................ 16
DAFTAR RUJUKAN........................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Logika adalah pengetahuan yang sistematis
sekaligus mempelajari tentang aturan-aturan atau hukum-hukum berpikir, yang
dapat mengantarkan manusia pada kebenaran berpikir.Salah satu yang menjadi
pembahasan dalam ilmu logika yaitu tentang logika induktif dan logika deduktif.
Logika induktif dan logika deduktif satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Karena keduanya saling berkaitan
dan saling melengkapi dalam hal penalaran berpikir. Untuk lebih memahami
pengertian logika induktif dan deduktif, penulis mencoba membahasnya delam
sebuah makalah yang berjudul “Pengertian Logika Induktif dan Deduktif”. Semoga
dengan makalah ini kita bisa memahami lebih jauh tentang pengertian logika
induktif dan deduktif serta kita bisa menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang disebut dengan logika induktif?
2. Apa yang disebut dengan logika deduktif?
C.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian logika induktif.
2. Mengetahui pengertian logika deduktif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Logika Induktif
1.
Pengertian Logika Induktif
Induktif
adalah salah satu bentuk pemikiran, dari soal-soal yang khusus, membawanya
kepada kesimpulan yang umum. Atau berpikir dari soal-soal yang konkrit kepada
soal-soal yang abstrak.[1]
Menurut
Dr. Gorys Keraf, yang dimaksud dengan logika atau penalaran induktif adalah
proses berfikir yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena individual
menuju suatu kesimpulan.[2]
Dari
satu pengalaman saja orang mungkin mempunyai pengetahuan, tentu saja mengenai
pengetahuan yang satu itu (khusus). Pengetahuan yang khusus ini dapat juga
tercerpai berulang kali dan kemudian dijadikan landasan oleh manusia untuk
memperoleh pengetahuan yang lebih luas wilayahnya, sehingga berlau lebih umum.
Jadi pikiran dari putusan yang khusus kepada putusan yang berlaku umum tersebut
dinamakan induksi.[3]
Dalam
kehidupan sehari-hari kita sering bergumentasi menggunakan penalaran induktif.
Contohnya ketika saya ke Malang dan disajikan buah apel Malang untuk dimakan,
apel tersebut terasa manis, garing, dan segar. Ketika seorang sahabat saya
datang dari Malang dan membawa oleh-oleh apel Malang, saya pun memakannya dan
ternyata enak. Ketika sakit saya dibawakan apel Malang oleh teman yang datang
membesuk. Saya memakannya dan rasanya manis, renyah, dan segar. Maka saya
simpulkan behwa semua apel Malang itu manis, garing, dan segar. Yang saya
lakukan disini adalah penalaran induktif. Dari sekelompok apel Malang yang saya
makan, dan ternyata manis, garing, dan segar, saya membuat kesimpulan bahwa
semua apel Malang itu manis, garing, dan segar.[4]
Contoh
lain dari penalaran induktif yaitu:
Burung
gereja bertelur.
Burung
perkutut bertelur.
Burung
beo bertelur.
Burung
kutilang bertelur.
Ayam
bertelur.
Itik
bertelur.
Jadi,
kesimpulannya adalah setiap jenis binatang unggas bertelur.[5]
a.
Analogi Induktif
Jenis
argumen induktif paling umum mengandalkan analogi. Jika saya melaporkan bahwa
saya mendapatkan layanan sangat baik dari komputer dengan model dan buatan
tertentu, anda mungkin menyimpulkan bahwa komputer baru dengan model dan buatan
yang sama akan melayani anda dengan baik. Konklusi itu mungkin punya tingkat
probabilitas yang rendah tetapi argumen tersebut jauh dari argumen yang
bersifat memaksakan. Bila sebuah buku baru mendapatkan perhatian saya dan saya
menyimpulkan bahwa saya akan senang membacanya, itu karena saya sudah membaca
dan menikmati buku-buku lainnya dari penulis yang sama. Kemungkinan yang saya
dapatkan adalah bahwa ketika saya membaca buku itu, keyakinan saya pda penulis
itu menguat atau saya malah mungkin kecewa.[6]
Analogi
adalah landasan umum dari penyimpulan yang kita lakukan setiap hari dari
pengalaman yang lalu ke apa yang akan terjadi dimasa mendatang. Yang menjadi
titik perhatian dalam analogi induktif adalah hal-hal yang analog. Dan atas
dasar itu saya menarik kesimpulan untuk hal atau individu lain yang analog
dengan apa yang sudah saya alami.[7]
Menurut
Dr. Gorys Keraf, analogi induktif adalah suatu proses penalaran yang bertolak
dari dua peristiwa khusus yang mirip satu sama lain, kemudian menyimpulkan
bahwa apa yang berlaku untuk suatu hal akan berlaku pula untuk hal yang lain.
Analogi pada dasarnya membandingkan dua hal, dan mengambil kesamaan dari dua
hal tersebut.[8]
Contoh
mengenai analogi induktif diatas nampak dalam kasus berikut ini: Nina adalah
tamatan fakultas ekonomi Universitas Lampung, ia telah memberikan prestasi yang
luar biasa pada perusahaan tempat ia bekerja. Pada waktu penerimaan pegawai
baru, direktur perusahaan langsung menerima Dodi, karena Dodi sama lulusan
fakultas ekonomi Universitas Lampung. Semua pelamar-pelamar lain diabaikan.
Direktur perusahaan ini menggunakan penalaran analogi.[9]
Cotoh
lain dari analogi induktif yaitu:
Yudi mahasiswa
asal Palembang, orangnya baik.
Hendy
mahasisiwa asal Palembang, orangnya baik.
Latif
mahasisiwa asal Palembang, orangnya baik.
Boby mahasiswa
asal Palembang juga, berarti dia orang baik.
Berdasarkan
analogi dengan tiga orang sebelumnya, saya bisa menyimpulkan bahwa Boby juga
orang baik.[10]
Prinsip
yang menjadi dasar penalaran analogi induktif itu dapat dirumuskan: karena D
itu analogi dengan A, B, dan C, maka apa yang berlaku untuk A,B, dan C, dapat
diharapkan juga berlaku untuk D. Analogi induktif tentu berbeda dengan
generalisasi induktif. Generalisasi induktif konklusinya berupa proposisi
universal. Sedangkan analogi induktif tidak selalu demikian. Ia tergantung pada
subyek-subyek yang diperbandingkan dalam analogi, dan subyek itu bisa
individual, partikular, dan universal. Sungguh pun demikian sebagaimana
layaknya penalaran induktif, analogi induktif tetap terasa bahwa konklusinya
lebih luas dari premisnya. Bernalar dengan menggunakan analogi induktif tentu
memiliki kelemahan manakala dilakukan secara sembrono, tergesa-gesa, ceroboh,
dan subyektif.
b.
Generalisasi Induktif
Menurut Dr. Gorys Keraf, generalisasiadalah suatu proses penalaran yang
bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan
yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena itu.[11]
Pada generalisasi induktif penalaran terdiri dari premis-premis
yang analog tetapi kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Artinya,
dari sifat-sifat individual yang analog dapat ditarik satu generalisasi umum
atas semua individu itu. Misalnya setelah saya menemukan hal-hal yang analog
pada orang Jawa sebagai kelompok/individual, saya menarik satu kesimpulan umum
(general) tentang semua orang Jawa. Di Yogya saya bertemu dengan orang Jawa
yang halus dan santun. Di Solo saya bertemu dengan orang Jawa yang halus dan
santun, di Semarang saya bertemu dengan
orang Jawa yang halus dan santun, di Salatiga pun saya bertemu dengan orang
Jawa yang halus dan santun. Maka saya menarik kesimpulan dengan generalisasi
bahwa semua orang Jawa itu halus dan santun.[12]
Atau dengan contoh yang sama diatas bisa dikemukakan:
Yudi
mahasiswa asal Palembang, orangnya baik.
Hendy
mahasiswa asal Palembang, orangnya baik.
Latif
mahasiswa asal Palembang, orangnya baik.
Semua
mahasiswa asal Palembang adalah orang yang baik.
Berdasarkan ciri dari tiga orang Palembang sebelumnya, saya tarik
kesimpulan umum (generalisasi) untuk semua orang Palembang.[13]
Sebagaimana kita ketahui bahwa penalaran yang menyimpulkan suatu
konklusi yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empiris
itu disebut generalisasi. Prinsip penalaran itu demikian bunyinya. Menurut
Soekadijo, apa yang beberapa kali terjadi dalam kondisi tertentu, dapat
diharapkan akan selalu terjadi apabila kondisi yang sama terpenuhi.[14]
Generalisasi harus memenuhi 3
syarat berikut:
1.
Tidak
boleh dibatasi secara numerik. Misalnya
kalau ada generalisasi bahwa semua logam kalau dipanaskan memuai, maka
generalisasi ini tidak dibatasi sampai jumlah tertentu. Hukum ini harus berlaku
untuk jumlah logam yang tak terbatas.
2.
Tidak
boleh dibatasi secara spasio/temporal (ruang dan waktu), artinya generalisasi ini harus berlaku dimana-mana dan dari dulu
hingga masa mendatang yang tidak terbatas. Prinsip ini tidak hanya berlaku di
ruang tertentu dan pada waktu tertentu. Generalisasi bahwa semua logam kalau
dipanaskan memuai harus berlaku diseluruh dunia dan dari dulu hingga nanti.
3.
Dapat
dijadikan dasar pengandaian. Walaupun
sudah dikatakan bahwa generalisasi itu hanya mencapai kebenaran pada tingkat
probabilitas, tetap saja generalisasi bisa dijadikan dasar pengandaian. Generalisasi
bahwa logam yang dipanaskan akan memuai bisa dijadikan dasar pengandaian untuk
tidak meletakkan guitar dipanas matahari, karena senarnya bisa putus. Atau
generalisasi bahwa air kalau dipanaskan akan menghasilkan uap yang bertenaga,
bisa dijadikan dasar pengandaian untuk tidak memanaskan air ditabung yang
tertutup mati. Ketika dibuktikan bahwa kaca juga memuai ketika kena panas, maka
tukang yang memasang kaca jendela harus juga menjadikan itu sebagi dasar
pengandaian, dan memberikan sedikit ruang yang longgar pada kaca jendela, agar
tidak pecah ketika terpapar panas matahari.[15]
2.
Penyimpulan Induktif
Penyimpulan yang dilakukan berdasarkan premis-premis berupa
kebenaran individual kemudian ditarik kesimpulan sebagai kebenaran baru dengan
cara analogi atau generalisasi.
Pada prinsipnya penyimpulan induktif dan penyimpulan deduktif
sama-sama menggunakan premis-premis dari proposisi kategoris. Namun kesimpulan
yang ditarik dalam penyimpulan induktif selalu lebih besar daripada premis.
Maka dalam penyimpulan induktif kita tidak bisa bicara tentang sahih dan tidak
sahih, melainkan tingkat probabilitas. Kalau kesimpulan yang berkualitas dari
penyimpulan deduktif adalah kesahihan (validitas), kualitas penyimpulan
induktif terletak pada tingkat probabilitasnya. Karena penyimpulan induktif hanya
berujung pada tingkat probabilitas itulah maka kebenaran-kebanran dari
penyimpulan induktif selalu hanya bersifat sementara. Misalnya, bahwa Jakarta
selalu kebanjiran setiap tahun, membuat orang Jakarta selalu siap untuk
menyambut banjir setiap musim hujan. Tetapi kebenaran ini hanya bersifat
probabilitas, karena kita tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi tahun
depan, tetapi kemungkinan (probabilitas) itu ada, berdasarkan pengalaman
tahun-tahun sebelumnya.[16]
Walaupun kebenaran dari penyimpulan induktif hanya sampai pada
tingkat probabilitas tidakk berarti bahwa kesimpulan-kesimpulan induktif harus
ditolak. Kebenaran-kebenaran induktif tetap harus diterima terutama yang punya
tingkat probabilitas yang tinggi. Kebenaran-kebenaran dengan tingkat probabilitas
yang tinggi akan menciptakan kredibilitas rasuional yang tinggi pula. Artinya
akal sehat akan menerima kesimpulan ini dan bisa menjadikannya sebagai dasar
pengandaian. Supaya kredibiltas nasional terhadap suatu kesimpulan induktif
semakin kuat maka tingkat probabilitas dari kesimpulan induktif itu harus
ditingkatkan. Tingkat probabilitas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor:
a.
Faktor
data. Semakin banyak data dan fakta maka tingkat probabilitas semakin
tinggi. Karena itu untuk menambah tingkat probabilitas dari argumentasi
induktif, perlu diperbanyak data.
Misalnya angka kriminalitas tahun 2010 meningkat 5 persen, 2011
meningkat 10 persen, 2012 meningkat 3 persen. Jadi angka kriminalitas
meningkat. Kesimpulan ini akan menjadi lebih kuat kalau data yang disajikan itu
mulai dari tahun 2008.
b.
Faktor
analogi. Semakin banyak faktor analogi
dalam data, maka semakin rendah tingkat probabilitas. Kesimpulan yang saya
tarik dari data dengan fakyor analogi yang lebih sedikit, memiliki tingkat
probabilitas yang lebih rendah dibandingkan kesimpulan yang memiliki lebih
banyak faktor analogi. Contoh:
Data
pertama:
Orang
Jawa 1, pengusaha, muda, santun.
Orang
Jawa 2, pengusaha, muda, santun.
Orang
Jawa 3, pengusaha, muda, santun.
Kalau
begitu, semua orang Jawa yang pengusaha, muda, pasti santun.
Dibandingkan dengan data kedua berikut ini dengan kesimpulan yang
sama.
Orang
Jawa 1, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Orang
Jawa 2, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Orang
Jawa 3, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Kalau
begitu, semua orang Jawa, yang pengusaha, muda, pasti santun.
Dengan tambahan asal Yogya sebagai faktor analogi, tingkat
probabilitas dari kesimpulan kedua menjadi lebih rendah daripada yang pertama.
Tanpa tambahan asal Yogya pada data sampel pertama menunjuk pada
kemungkinan bahwa sampel pengusaha itu bisa berasal dari berbagai daerah lain
seperti Semarang, Klaten, Magelang, Surabaya, dan sebagainya. Dan kalau
demikian, kota-kota yang lebih variatif itu tidak bisa mewakili orang jawa
daripada yang hanya berasal dari Yogya.
c.
Faktor
disanalogi. Kesimpulan dari premis yang
memiliki faktor disanalogi yang lebih banyak, memiliki tingkat probabilitas
yang lebih tinggi daripada premis yang faktor disanaloginya sedikit, atau sama
sekali tidak ada. Contoh:
Orang
Jawa 1, pengusaha, muda, bidang batik, asal Yogya, santun.
Orang
Jawa 2, pengusaha, muda, bidang batik, asal Yogya, santun.
Orang
Jawa 3, pengusaha, muda, bidang batik, asal Yogya, santun.
Kalau
begitu, semua orang Jawa, yang pengusaha, muda, pasti santun.
Kesimpulan ini lebih rendah tingkat probabilitasnya daripada yang
berikut:
Orang
Jawa 1, pengusaha, muda, bidang batik, asal Yogya, santun.
Orang
Jawa 2, pengusaha, muda, bidang komputer, asal Semarang, santun.
Orang
Jawa 3, pengusaha, muda, bidang ekspedisi, asal Klaten, santun.
Kalau
begitu, semua orang Jawa, yang pengusaha, muda, pasti santun.
Kesimpulan kedua ini memiliki tingkat probabillitas yang lebih
tinggi daripada kesimpulan yang pertama, karena faktor disanaloginya lebih
banyak. Karena itu semakin variatif data yang dibandingkan, semakin tinggi
tingkat probabilitas.
d.
Faktor
luasnya kesimpulan. Semakin luas
kesimpulan, semakin rendah tingkat probabilitas. Perhatikan contoh berikut.
Kesimpulan dari premis yang pertama lebih luas daripada premis kedua.
Pertama:
Orang
Jawa 1, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Orang
Jawa 2, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Orang
Jawa 3, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Kalau
begitu, semua orang Jawa, yang pengusaha, muda, pasti santun.
Kedua:
Orang
Jawa 1, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Orang
Jawa 2, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Orang
Jawa 3, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Kalau
begitu, semua orang Jawa, yang pengusaha, asal Yogya, muda, pasti santun.
Dengan tambahan analogi asal Yogya pada konklusi, saya telah
mempersempit kesimpulannya. Artinya dengan tambahan analogi asal Yogya, saya memperbesar tingkat
probabilitasnya.[17]
B.
Logika Deduktif
1.
Pengertian Logika Deduktif
Deduksi adalah kebalikan dari induksi. Jadi deduksi adalah
mengambil atau menetapkan kesimpulan-kesimpulan khusus dari kesimpulan umum.[18]
Dalam penalaran deduktif selalu ada premis dan penyimpulan,
walaupun kadang-kadang tidak terstruktur secara lengkap dan jelas. Ketika saya
melakukan kesalahan ditepat saya bekerja, dan mendapat teguran pimpinan, saya
bisa minta maaf sambil berargumentasi dengan bahasa sehari-hari, “saya kan
manusia”. Maksud sebenarnya adalah bahwa semua manusia bisa melakukan
kesalahan, dan saya adalah manusia maka saya juga bisa melakukan
kesalahan. Atau ketika anak saya tidak lulus test, saya akan mengatakan
“pantas tidak lulus, tak pernah belajar kan!”. Artinya semua orang yang
tidak belajar pasti tidak lulus test. Anak saya tidak belajar. Pantas dia tidak
lulus test.[19]
Dari pengetahuan dan pengalamannya orang sangat mungkin mengatahui
penngetahuan-pengetahuan yang sifatnya umum dan berlaku umum. Dari pengetahuan
tersebut dapat pula dicapai yang bersifat khusus dan berlaku secara khusus
pula. Karena penetapan ini ditetapkan pada bagian luas lingkup (wilayah) nya
berlaku umum. Misalnya manusia dengan pengetahuan dan pengalamannya sangat
yakin bahwa manusia secara keseluruhan akan mati. Dari putusan umum tersebut,
dia dapat menetapkan keputusan khusus bahwa Amat, Hosen, dan Anwar juga akan
mati, karena Amat, Hosen dan Anwar adalah juga manusia. Kesimpulan tersebut
dicapai secara deduktif atau melalui
deduksi.[20]
Kalau sudah diketahui bahwa putusan umum yang menjadi titik tolak
jalan pikiran itu benar, dan berlaku untuk tiap-tiap benda, hal, individu atau
person, maka putusan khusus yang merupakan kesimpulannya akan muncul dengan
sendirinya dan benar pula. Konklusinya hanya merupakan penegasan saja dari yang
telah tersimpulkan pada putusan umum itu.[21]
Argumen yang menggunakan penalaran deduktif, selalu berangkat dari
premis-premis yang terdiri dari kebenaran-kebenaran yang sudah diterima sebagai
benar, dan kemudian ditarik kesimpulan sebagai kebenaran baru yang tidak bisa
disangsikan. Ketika seorang anak sudah memastikan bahwa semua cabe itu pedas,
dan menemukan bahwa ada cabe dalam sayuran misalnya, maka dia tidak akan
memakannya karena dia menyimppulkan bahwa sayur itu pasti pedas. Tetapi saya
harus makan karena saya membutuhkan vitamin dan mineral. Maka walaupun pedas
saya harus makan sayur itu.[22]
Disini kita menemukan rentetan argumentasi dengan penalaran
deduktif: Semua cabe itu pedas. Kangkung tumis itu mengandung cabe. Jadi
kangkung tumis itu pedas. Semua sayur mengandung vitamin dan mineral.kangkung
tumis yang pedas itu adalah sayur. Jadi kangkung tumis yang pedas itu
mengandung vitamin dan mineral. Semua vitamin dan mineral harus saya makan.
Kangkung tumis yang pedas itu mengandung vitamin dan mineral. Jadi kangkung
tumis yang pedas itu harus saya makan.[23]
Sebenarnya antara berpikir induksi dan deduksi tersebut sangat erat
hubungannya. Malahan dalam tiap-tiap pemikiran sebenarnya praktis bercampur
antara pemikiran induksi dengan pemikiran deduksi tersebut. Misalnya saja kita
melihat seekor kuda, kita memikirkannya secara khusus tentang kuda itu.
bagaimana giginya, bagaimana mulutnya, bagaimana suaranya, dan lin sebagainya.
Begini namanya berpikir induktif. Tapi dari mana kita mengetahui bahwa kuda itu
mempunyai mulut, punya gigi, dan punya
suara? Sebenarnya kita sudah mengetahui hal itu melalui pengertian umum tentang
kuda. Sesuatu kesimpulan umum tentang kuda yakni suatu pengertian umum tentang
kuda umum yang harus ada pada semua kuda. Kalau begitu, ketika kita mengetahui
secara khusus tentang seekor kuda tertentu, sebenarnya kita mengetahuinya dari
deduksi.[24]
Batas antara induksi dan deduksi seringkali kabur. Artinya kapan
induksi berakhir dan kapan deduksi dimulai, sebab yang satu saling melengkapi
yang lain.[25]
Persoalan berikutnya adalah mana yang terlebih dahulu timbulnya
antara pengertian umum dengan pengertian khusus tersebut? Pengertian
induktif-kah atau pengertian deduktif? Ini persoalan filsafat. Menurut Plato
yang asli terlebih dahulu, sedangkan yang asli menurut Plato adalah pengertian
umum. Sebaliknya menurut Aristoteles, yang dulu adalah pengertian khusus.
Perbedaan diantara kedua filosof tersebut, disebabkan perbedaan mereka dalam
memandang mana alam yang sebenarnya (yang asli). Menurut Plato yang asli itu
adalah alam hakikat, yakni alam ide, alam yang tercipta dalam akal umum.
Sedangkan alam nyata yang dialami pancaindra ini adalah bayang-bayang saja dari
alam ide. Sebaliknya Aristoteles menganggap bahwa alam cita yang umum itu
adalah akibat dari alam nyata ini, karena akibat maka tidak asli, maka yang
asli menurut Aristoteles adalah alam nyata ini.[26]
Kembali kepada persoalan bahwa induksi senantiasa berdampingan
dengan deduksi. Keduanya selalu bersama-sama dan saling memuat. Induksi tidak
akan ada tanpa deduksi. Deduksi juga akan selalu dijiwai oleh induksi. Hanya
saja dalam proses memperoleh pengetahuan, induksi biasanya mendahului deduksi.
Sedangkan dalam ilmu logika, biasanya deduksilah yang terutama dibicarakan
terlebih dahulu. Deduksi dipandang lebih pentinguntuk latihan dalam
pengembangan pikiran.[27]
2.
Penyimpulan Deduktif
Penyimpulan yang dilakukan berdasarkan
premis-premis berupa kebenaran umum yang kemudian ditarik kesimpulan sebagai
kebenaran baru. Dalam penyimpulan deduktif yang benar, kesimpulan atau konklusi
selalu valid atau sahih lantaran kesimpulan sebenarnya sudah terkandung dalam
premis. Karena itu kebenaran konklusi dalam deduksi sangat tergantung pada
kebenaran-kebenaran dalam premis. Maka kesimpulan yang lurus dalam metode
deduktif ini selalu sahih, bahkan dari materi yang tidak benar.[28]
Ini tampak jelas pada silogisme berikut:
Semua binatang mempunyai sayap.
Semua mobil adalah binatang.
Jadi, semua mobil mempunyai sayap.
Jika benar bahwa semua binatang mempunyai
sayap dan benar juga bahwa semua mobil adalah binatang, maka kesimpulan bahwa
semua mobil mempunyai sayap itu sangat valid.
Atau:
Jika pasien menderita disentri maka dia
pasti sakit perut.
Ternyata pasien menderita disentri.
Kalau begitu dia pasti sakit perut.
Karena kesimpulan sudah terkandung dalam
premis maka prinsip dalam penyimpulan deduktif mengatakan bahwa kesimpulan
tidak boleh lebih besar dari premis. Kalau kesimpulan lebih besar berarti
ada tambahan yang diberikan pada kesimpulan, dan ini akan membuat kesimpulan
menjadi tidak logis.
Misalnya:
Semua yang belajar di perguruan tinggi
adalah mahasiswa.
Sebagian besar yang berdemo itu belajar di
perguruan tinggi.
Jadi semua yang berdemo itu adalah
mahasiswa.
Premis hanya berbicara tentang sebagian
besar yang berdemo, tetapi kesimpulan justru mengatakan tentang semua
yang berdemo.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Induktif adalah salah satu bentuk pemikiran, dari soal-soal yang
khusus, membawanya kepada kesimpulan yang umum. Atau berpikir dari soal-soal
yang konkrit kepada soal-soal yang abstrak.
Analogi adalah landasan umum dari penyimpulan yang kita lakukan
setiap hari dari pengalaman yang lalu ke apa yang akan terjadi dimasa
mendatang. Yang menjadi titik perhatian dalam analogi induktif adalah hal-hal
yang analog.
Menurut Dr. Gorys Keraf, generalisasiadalah suatu proses penalaran yang
bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan
yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena itu.
Deduksi adalah kebalikan dari induksi. Jadi deduksi adalah
mengambil atau menetapkan kesimpulan-kesimpulan khusus dari kesimpulan umum.
Dalam penyimpulan deduktif yang benar,
kesimpulan atau konklusi selalu valid atau sahih lantaran kesimpulan sebenarnya
sudah terkandung dalam premis. Karena itu kebenaran konklusi dalam deduksi
sangat tergantung pada kebenaran-kebenaran dalam premis. Maka kesimpulan yang
lurus dalam metode deduktif ini selalu sahih, bahkan dari materi yang tidak
benar.
B.
Saran
Setelah kita mengetahui pengertian dan
tatacara penggunaan penalaran logika induktif dan deduktif, alangkah baiknya
bila kita menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kita bisa
berpikir dan berbicara dengan baik dengan menggunakan metode penalaran induktif
dan deduktif.
DAFTAR
RUJUKAN
[1] Sunardji Dahri
Tiam, Langkah-langkah Berpikir Logis (Pamekasan: STAIN Pamekasan, 2006)
hlm., 43.
[2] Karomani, Logika
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) hlm., 108.
[3]Tiam, Langkah-langkah
Berpikir Logis, hlm. 43-44.
[4] Benyamin Molan,
Logika: Ilmu dan Seni Berpikir Kritis (Jakarta: INDEKS, 2012) hlm., 133.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar