Rabu, 25 Desember 2019

LOGIKA INDUKTIF DAN LOGIKA DEDUKTIF


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI                                                                                                   ......          i
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.    Latar Belakang................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................ 1
C.     Tujuan Penulisan.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 2
A.    Pengertian Logika Induktif.............................................................. 2
B.                                                                                                        ...... 3
C.     Kandungan al-Q............................................................................... 7
D.    Qath’i dan Dzanni Ayat-ayat al-Qur’an.......................................... 12
1.      Nash Qath’i.......................................................................... 13
2.      Nash Dzanni......................................................................... 14
BAB III PENUTUP............................................................................................... 15
A.    Kesimpulan...................................................................................... 15
B.     Saran................................................................................................ 16
DAFTAR RUJUKAN........................................................................................... 17

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Logika adalah pengetahuan yang sistematis sekaligus mempelajari tentang aturan-aturan atau hukum-hukum berpikir, yang dapat mengantarkan manusia pada kebenaran berpikir.Salah satu yang menjadi pembahasan dalam ilmu logika yaitu tentang logika induktif dan logika deduktif.
Logika induktif dan logika deduktif satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Karena keduanya saling berkaitan dan saling melengkapi dalam hal penalaran berpikir. Untuk lebih memahami pengertian logika induktif dan deduktif, penulis mencoba membahasnya delam sebuah makalah yang berjudul “Pengertian Logika Induktif dan Deduktif”. Semoga dengan makalah ini kita bisa memahami lebih jauh tentang pengertian logika induktif dan deduktif serta kita bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang disebut dengan logika induktif?
2.      Apa yang disebut dengan logika deduktif?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian logika induktif.
2.      Mengetahui pengertian logika deduktif.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Logika Induktif
1.      Pengertian Logika Induktif
Induktif adalah salah satu bentuk pemikiran, dari soal-soal yang khusus, membawanya kepada kesimpulan yang umum. Atau berpikir dari soal-soal yang konkrit kepada soal-soal yang abstrak.[1]
Menurut Dr. Gorys Keraf, yang dimaksud dengan logika atau penalaran induktif adalah proses berfikir yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena individual menuju suatu kesimpulan.[2]
Dari satu pengalaman saja orang mungkin mempunyai pengetahuan, tentu saja mengenai pengetahuan yang satu itu (khusus). Pengetahuan yang khusus ini dapat juga tercerpai berulang kali dan kemudian dijadikan landasan oleh manusia untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas wilayahnya, sehingga berlau lebih umum. Jadi pikiran dari putusan yang khusus kepada putusan yang berlaku umum tersebut dinamakan induksi.[3]
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering bergumentasi menggunakan penalaran induktif. Contohnya ketika saya ke Malang dan disajikan buah apel Malang untuk dimakan, apel tersebut terasa manis, garing, dan segar. Ketika seorang sahabat saya datang dari Malang dan membawa oleh-oleh apel Malang, saya pun memakannya dan ternyata enak. Ketika sakit saya dibawakan apel Malang oleh teman yang datang membesuk. Saya memakannya dan rasanya manis, renyah, dan segar. Maka saya simpulkan behwa semua apel Malang itu manis, garing, dan segar. Yang saya lakukan disini adalah penalaran induktif. Dari sekelompok apel Malang yang saya makan, dan ternyata manis, garing, dan segar, saya membuat kesimpulan bahwa semua apel Malang itu manis, garing, dan segar.[4]
Contoh lain dari penalaran induktif yaitu:
Burung gereja bertelur.
Burung perkutut bertelur.
Burung beo bertelur.
Burung kutilang bertelur.
Ayam bertelur.
Itik bertelur.
Jadi, kesimpulannya adalah setiap jenis binatang unggas bertelur.[5]
a.      Analogi Induktif
Jenis argumen induktif paling umum mengandalkan analogi. Jika saya melaporkan bahwa saya mendapatkan layanan sangat baik dari komputer dengan model dan buatan tertentu, anda mungkin menyimpulkan bahwa komputer baru dengan model dan buatan yang sama akan melayani anda dengan baik. Konklusi itu mungkin punya tingkat probabilitas yang rendah tetapi argumen tersebut jauh dari argumen yang bersifat memaksakan. Bila sebuah buku baru mendapatkan perhatian saya dan saya menyimpulkan bahwa saya akan senang membacanya, itu karena saya sudah membaca dan menikmati buku-buku lainnya dari penulis yang sama. Kemungkinan yang saya dapatkan adalah bahwa ketika saya membaca buku itu, keyakinan saya pda penulis itu menguat atau saya malah mungkin kecewa.[6]
Analogi adalah landasan umum dari penyimpulan yang kita lakukan setiap hari dari pengalaman yang lalu ke apa yang akan terjadi dimasa mendatang. Yang menjadi titik perhatian dalam analogi induktif adalah hal-hal yang analog. Dan atas dasar itu saya menarik kesimpulan untuk hal atau individu lain yang analog dengan apa yang sudah saya alami.[7]
Menurut Dr. Gorys Keraf, analogi induktif adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa khusus yang mirip satu sama lain, kemudian menyimpulkan bahwa apa yang berlaku untuk suatu hal akan berlaku pula untuk hal yang lain. Analogi pada dasarnya membandingkan dua hal, dan mengambil kesamaan dari dua hal tersebut.[8]
Contoh mengenai analogi induktif diatas nampak dalam kasus berikut ini: Nina adalah tamatan fakultas ekonomi Universitas Lampung, ia telah memberikan prestasi yang luar biasa pada perusahaan tempat ia bekerja. Pada waktu penerimaan pegawai baru, direktur perusahaan langsung menerima Dodi, karena Dodi sama lulusan fakultas ekonomi Universitas Lampung. Semua pelamar-pelamar lain diabaikan. Direktur perusahaan ini menggunakan penalaran analogi.[9]
Cotoh lain dari analogi induktif yaitu:
Yudi mahasiswa asal Palembang, orangnya baik.
Hendy mahasisiwa asal Palembang, orangnya baik.
Latif mahasisiwa asal Palembang, orangnya baik.
Boby mahasiswa asal Palembang juga, berarti dia orang baik.
Berdasarkan analogi dengan tiga orang sebelumnya, saya bisa menyimpulkan bahwa Boby juga orang baik.[10]
Prinsip yang menjadi dasar penalaran analogi induktif itu dapat dirumuskan: karena D itu analogi dengan A, B, dan C, maka apa yang berlaku untuk A,B, dan C, dapat diharapkan juga berlaku untuk D. Analogi induktif tentu berbeda dengan generalisasi induktif. Generalisasi induktif konklusinya berupa proposisi universal. Sedangkan analogi induktif tidak selalu demikian. Ia tergantung pada subyek-subyek yang diperbandingkan dalam analogi, dan subyek itu bisa individual, partikular, dan universal. Sungguh pun demikian sebagaimana layaknya penalaran induktif, analogi induktif tetap terasa bahwa konklusinya lebih luas dari premisnya. Bernalar dengan menggunakan analogi induktif tentu memiliki kelemahan manakala dilakukan secara sembrono, tergesa-gesa, ceroboh, dan subyektif.

b.      Generalisasi Induktif
Menurut Dr. Gorys Keraf, generalisasiadalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena itu.[11]
Pada generalisasi induktif penalaran terdiri dari premis-premis yang analog tetapi kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Artinya, dari sifat-sifat individual yang analog dapat ditarik satu generalisasi umum atas semua individu itu. Misalnya setelah saya menemukan hal-hal yang analog pada orang Jawa sebagai kelompok/individual, saya menarik satu kesimpulan umum (general) tentang semua orang Jawa. Di Yogya saya bertemu dengan orang Jawa yang halus dan santun. Di Solo saya bertemu dengan orang Jawa yang halus dan santun, di Semarang saya bertemu  dengan orang Jawa yang halus dan santun, di Salatiga pun saya bertemu dengan orang Jawa yang halus dan santun. Maka saya menarik kesimpulan dengan generalisasi bahwa semua orang Jawa itu halus dan santun.[12]
Atau dengan contoh yang sama diatas bisa dikemukakan:
Yudi mahasiswa asal Palembang, orangnya baik.
Hendy mahasiswa asal Palembang, orangnya baik.
Latif mahasiswa asal Palembang, orangnya baik.
Semua mahasiswa asal Palembang adalah orang yang baik.
Berdasarkan ciri dari tiga orang Palembang sebelumnya, saya tarik kesimpulan umum (generalisasi) untuk semua orang Palembang.[13]
Sebagaimana kita ketahui bahwa penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empiris itu disebut generalisasi. Prinsip penalaran itu demikian bunyinya. Menurut Soekadijo, apa yang beberapa kali terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila kondisi yang sama terpenuhi.[14]
Generalisasi harus memenuhi 3  syarat berikut:
1.      Tidak boleh dibatasi secara numerik. Misalnya kalau ada generalisasi bahwa semua logam kalau dipanaskan memuai, maka generalisasi ini tidak dibatasi sampai jumlah tertentu. Hukum ini harus berlaku untuk jumlah logam yang tak terbatas.
2.      Tidak boleh dibatasi secara spasio/temporal (ruang dan waktu), artinya generalisasi ini harus berlaku dimana-mana dan dari dulu hingga masa mendatang yang tidak terbatas. Prinsip ini tidak hanya berlaku di ruang tertentu dan pada waktu tertentu. Generalisasi bahwa semua logam kalau dipanaskan memuai harus berlaku diseluruh dunia dan dari dulu hingga nanti.
3.      Dapat dijadikan dasar pengandaian. Walaupun sudah dikatakan bahwa generalisasi itu hanya mencapai kebenaran pada tingkat probabilitas, tetap saja generalisasi bisa dijadikan dasar pengandaian. Generalisasi bahwa logam yang dipanaskan akan memuai bisa dijadikan dasar pengandaian untuk tidak meletakkan guitar dipanas matahari, karena senarnya bisa putus. Atau generalisasi bahwa air kalau dipanaskan akan menghasilkan uap yang bertenaga, bisa dijadikan dasar pengandaian untuk tidak memanaskan air ditabung yang tertutup mati. Ketika dibuktikan bahwa kaca juga memuai ketika kena panas, maka tukang yang memasang kaca jendela harus juga menjadikan itu sebagi dasar pengandaian, dan memberikan sedikit ruang yang longgar pada kaca jendela, agar tidak pecah ketika terpapar panas matahari.[15]
2.      Penyimpulan Induktif
Penyimpulan yang dilakukan berdasarkan premis-premis berupa kebenaran individual kemudian ditarik kesimpulan sebagai kebenaran baru dengan cara analogi atau generalisasi.
Pada prinsipnya penyimpulan induktif dan penyimpulan deduktif sama-sama menggunakan premis-premis dari proposisi kategoris. Namun kesimpulan yang ditarik dalam penyimpulan induktif selalu lebih besar daripada premis. Maka dalam penyimpulan induktif kita tidak bisa bicara tentang sahih dan tidak sahih, melainkan tingkat probabilitas. Kalau kesimpulan yang berkualitas dari penyimpulan deduktif adalah kesahihan (validitas), kualitas penyimpulan induktif terletak pada tingkat probabilitasnya. Karena penyimpulan induktif hanya berujung pada tingkat probabilitas itulah maka kebenaran-kebanran dari penyimpulan induktif selalu hanya bersifat sementara. Misalnya, bahwa Jakarta selalu kebanjiran setiap tahun, membuat orang Jakarta selalu siap untuk menyambut banjir setiap musim hujan. Tetapi kebenaran ini hanya bersifat probabilitas, karena kita tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi tahun depan, tetapi kemungkinan (probabilitas) itu ada, berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya.[16]
Walaupun kebenaran dari penyimpulan induktif hanya sampai pada tingkat probabilitas tidakk berarti bahwa kesimpulan-kesimpulan induktif harus ditolak. Kebenaran-kebenaran induktif tetap harus diterima terutama yang punya tingkat probabilitas yang tinggi. Kebenaran-kebenaran dengan tingkat probabilitas yang tinggi akan menciptakan kredibilitas rasuional yang tinggi pula. Artinya akal sehat akan menerima kesimpulan ini dan bisa menjadikannya sebagai dasar pengandaian. Supaya kredibiltas nasional terhadap suatu kesimpulan induktif semakin kuat maka tingkat probabilitas dari kesimpulan induktif itu harus ditingkatkan. Tingkat probabilitas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor:
a.       Faktor data. Semakin banyak data dan fakta maka tingkat probabilitas semakin tinggi. Karena itu untuk menambah tingkat probabilitas dari argumentasi induktif, perlu diperbanyak data.
Misalnya angka kriminalitas tahun 2010 meningkat 5 persen, 2011 meningkat 10 persen, 2012 meningkat 3 persen. Jadi angka kriminalitas meningkat. Kesimpulan ini akan menjadi lebih kuat kalau data yang disajikan itu mulai dari tahun 2008.
b.      Faktor analogi. Semakin banyak faktor analogi dalam data, maka semakin rendah tingkat probabilitas. Kesimpulan yang saya tarik dari data dengan fakyor analogi yang lebih sedikit, memiliki tingkat probabilitas yang lebih rendah dibandingkan kesimpulan yang memiliki lebih banyak faktor analogi. Contoh:
Data pertama:
Orang Jawa 1, pengusaha, muda, santun.
Orang Jawa 2, pengusaha, muda, santun.
Orang Jawa 3, pengusaha, muda, santun.
Kalau begitu, semua orang Jawa yang pengusaha, muda, pasti santun.
Dibandingkan dengan data kedua berikut ini dengan kesimpulan yang sama.
Orang Jawa 1, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Orang Jawa 2, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Orang Jawa 3, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Kalau begitu, semua orang Jawa, yang pengusaha, muda, pasti santun.
Dengan tambahan asal Yogya sebagai faktor analogi, tingkat probabilitas dari kesimpulan kedua menjadi lebih rendah daripada yang pertama. Tanpa tambahan asal Yogya pada data sampel pertama menunjuk pada kemungkinan bahwa sampel pengusaha itu bisa berasal dari berbagai daerah lain seperti Semarang, Klaten, Magelang, Surabaya, dan sebagainya. Dan kalau demikian, kota-kota yang lebih variatif itu tidak bisa mewakili orang jawa daripada yang hanya berasal dari Yogya.
c.       Faktor disanalogi. Kesimpulan dari premis yang memiliki faktor disanalogi yang lebih banyak, memiliki tingkat probabilitas yang lebih tinggi daripada premis yang faktor disanaloginya sedikit, atau sama sekali tidak ada. Contoh:
Orang Jawa 1, pengusaha, muda, bidang batik, asal Yogya, santun.
Orang Jawa 2, pengusaha, muda, bidang batik, asal Yogya, santun.
Orang Jawa 3, pengusaha, muda, bidang batik, asal Yogya, santun.
Kalau begitu, semua orang Jawa, yang pengusaha, muda, pasti santun.
Kesimpulan ini lebih rendah tingkat probabilitasnya daripada yang berikut:
Orang Jawa 1, pengusaha, muda, bidang batik, asal Yogya, santun.
Orang Jawa 2, pengusaha, muda, bidang komputer, asal Semarang, santun.
Orang Jawa 3, pengusaha, muda, bidang ekspedisi, asal Klaten, santun.
Kalau begitu, semua orang Jawa, yang pengusaha, muda, pasti santun.
Kesimpulan kedua ini memiliki tingkat probabillitas yang lebih tinggi daripada kesimpulan yang pertama, karena faktor disanaloginya lebih banyak. Karena itu semakin variatif data yang dibandingkan, semakin tinggi tingkat probabilitas.
d.      Faktor luasnya kesimpulan. Semakin luas kesimpulan, semakin rendah tingkat probabilitas. Perhatikan contoh berikut. Kesimpulan dari premis yang pertama lebih luas daripada premis kedua.
Pertama:
Orang Jawa 1, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Orang Jawa 2, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Orang Jawa 3, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Kalau begitu, semua orang Jawa, yang pengusaha, muda, pasti santun.
Kedua:
Orang Jawa 1, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Orang Jawa 2, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Orang Jawa 3, pengusaha, muda, asal Yogya, santun.
Kalau begitu, semua orang Jawa, yang pengusaha, asal Yogya, muda, pasti santun.
Dengan tambahan analogi asal Yogya pada konklusi, saya telah mempersempit kesimpulannya. Artinya dengan tambahan analogi asal  Yogya, saya memperbesar tingkat probabilitasnya.[17]



B.     Logika Deduktif
1.      Pengertian Logika Deduktif
Deduksi adalah kebalikan dari induksi. Jadi deduksi adalah mengambil atau menetapkan kesimpulan-kesimpulan khusus dari kesimpulan umum.[18]
Dalam penalaran deduktif selalu ada premis dan penyimpulan, walaupun kadang-kadang tidak terstruktur secara lengkap dan jelas. Ketika saya melakukan kesalahan ditepat saya bekerja, dan mendapat teguran pimpinan, saya bisa minta maaf sambil berargumentasi dengan bahasa sehari-hari, “saya kan manusia”. Maksud sebenarnya adalah bahwa semua manusia bisa melakukan kesalahan, dan saya adalah manusia maka saya juga bisa melakukan kesalahan. Atau ketika anak saya tidak lulus test, saya akan mengatakan “pantas tidak lulus, tak pernah belajar kan!”. Artinya semua orang yang tidak belajar pasti tidak lulus test. Anak saya tidak belajar. Pantas dia tidak lulus test.[19]
Dari pengetahuan dan pengalamannya orang sangat mungkin mengatahui penngetahuan-pengetahuan yang sifatnya umum dan berlaku umum. Dari pengetahuan tersebut dapat pula dicapai yang bersifat khusus dan berlaku secara khusus pula. Karena penetapan ini ditetapkan pada bagian luas lingkup (wilayah) nya berlaku umum. Misalnya manusia dengan pengetahuan dan pengalamannya sangat yakin bahwa manusia secara keseluruhan akan mati. Dari putusan umum tersebut, dia dapat menetapkan keputusan khusus bahwa Amat, Hosen, dan Anwar juga akan mati, karena Amat, Hosen dan Anwar adalah juga manusia. Kesimpulan tersebut dicapai  secara deduktif atau melalui deduksi.[20]
Kalau sudah diketahui bahwa putusan umum yang menjadi titik tolak jalan pikiran itu benar, dan berlaku untuk tiap-tiap benda, hal, individu atau person, maka putusan khusus yang merupakan kesimpulannya akan muncul dengan sendirinya dan benar pula. Konklusinya hanya merupakan penegasan saja dari yang telah tersimpulkan pada putusan umum itu.[21]
Argumen yang menggunakan penalaran deduktif, selalu berangkat dari premis-premis yang terdiri dari kebenaran-kebenaran yang sudah diterima sebagai benar, dan kemudian ditarik kesimpulan sebagai kebenaran baru yang tidak bisa disangsikan. Ketika seorang anak sudah memastikan bahwa semua cabe itu pedas, dan menemukan bahwa ada cabe dalam sayuran misalnya, maka dia tidak akan memakannya karena dia menyimppulkan bahwa sayur itu pasti pedas. Tetapi saya harus makan karena saya membutuhkan vitamin dan mineral. Maka walaupun pedas saya harus makan sayur itu.[22]
Disini kita menemukan rentetan argumentasi dengan penalaran deduktif: Semua cabe itu pedas. Kangkung tumis itu mengandung cabe. Jadi kangkung tumis itu pedas. Semua sayur mengandung vitamin dan mineral.kangkung tumis yang pedas itu adalah sayur. Jadi kangkung tumis yang pedas itu mengandung vitamin dan mineral. Semua vitamin dan mineral harus saya makan. Kangkung tumis yang pedas itu mengandung vitamin dan mineral. Jadi kangkung tumis yang pedas itu harus saya makan.[23]
Sebenarnya antara berpikir induksi dan deduksi tersebut sangat erat hubungannya. Malahan dalam tiap-tiap pemikiran sebenarnya praktis bercampur antara pemikiran induksi dengan pemikiran deduksi tersebut. Misalnya saja kita melihat seekor kuda, kita memikirkannya secara khusus tentang kuda itu. bagaimana giginya, bagaimana mulutnya, bagaimana suaranya, dan lin sebagainya. Begini namanya berpikir induktif. Tapi dari mana kita mengetahui bahwa kuda itu mempunyai  mulut, punya gigi, dan punya suara? Sebenarnya kita sudah mengetahui hal itu melalui pengertian umum tentang kuda. Sesuatu kesimpulan umum tentang kuda yakni suatu pengertian umum tentang kuda umum yang harus ada pada semua kuda. Kalau begitu, ketika kita mengetahui secara khusus tentang seekor kuda tertentu, sebenarnya kita mengetahuinya dari deduksi.[24]
Batas antara induksi dan deduksi seringkali kabur. Artinya kapan induksi berakhir dan kapan deduksi dimulai, sebab yang satu saling melengkapi yang lain.[25]
Persoalan berikutnya adalah mana yang terlebih dahulu timbulnya antara pengertian umum dengan pengertian khusus tersebut? Pengertian induktif-kah atau pengertian deduktif? Ini persoalan filsafat. Menurut Plato yang asli terlebih dahulu, sedangkan yang asli menurut Plato adalah pengertian umum. Sebaliknya menurut Aristoteles, yang dulu adalah pengertian khusus. Perbedaan diantara kedua filosof tersebut, disebabkan perbedaan mereka dalam memandang mana alam yang sebenarnya (yang asli). Menurut Plato yang asli itu adalah alam hakikat, yakni alam ide, alam yang tercipta dalam akal umum. Sedangkan alam nyata yang dialami pancaindra ini adalah bayang-bayang saja dari alam ide. Sebaliknya Aristoteles menganggap bahwa alam cita yang umum itu adalah akibat dari alam nyata ini, karena akibat maka tidak asli, maka yang asli menurut Aristoteles adalah alam nyata ini.[26]
Kembali kepada persoalan bahwa induksi senantiasa berdampingan dengan deduksi. Keduanya selalu bersama-sama dan saling memuat. Induksi tidak akan ada tanpa deduksi. Deduksi juga akan selalu dijiwai oleh induksi. Hanya saja dalam proses memperoleh pengetahuan, induksi biasanya mendahului deduksi. Sedangkan dalam ilmu logika, biasanya deduksilah yang terutama dibicarakan terlebih dahulu. Deduksi dipandang lebih pentinguntuk latihan dalam pengembangan pikiran.[27]
2.      Penyimpulan Deduktif
Penyimpulan yang dilakukan berdasarkan premis-premis berupa kebenaran umum yang kemudian ditarik kesimpulan sebagai kebenaran baru. Dalam penyimpulan deduktif yang benar, kesimpulan atau konklusi selalu valid atau sahih lantaran kesimpulan sebenarnya sudah terkandung dalam premis. Karena itu kebenaran konklusi dalam deduksi sangat tergantung pada kebenaran-kebenaran dalam premis. Maka kesimpulan yang lurus dalam metode deduktif ini selalu sahih, bahkan dari materi yang tidak benar.[28]
Ini tampak jelas pada silogisme berikut:
Semua binatang mempunyai sayap.
Semua mobil adalah binatang.
Jadi, semua mobil mempunyai sayap.
Jika benar bahwa semua binatang mempunyai sayap dan benar juga bahwa semua mobil adalah binatang, maka kesimpulan bahwa semua mobil mempunyai sayap itu sangat valid.
Atau:
Jika pasien menderita disentri maka dia pasti sakit perut.
Ternyata pasien menderita disentri.
Kalau begitu dia pasti sakit perut.
Karena kesimpulan sudah terkandung dalam premis maka prinsip dalam penyimpulan deduktif mengatakan bahwa kesimpulan tidak boleh lebih besar dari premis. Kalau kesimpulan lebih besar berarti ada tambahan yang diberikan pada kesimpulan, dan ini akan membuat kesimpulan menjadi tidak logis.
Misalnya:
Semua yang belajar di perguruan tinggi adalah mahasiswa.
Sebagian besar yang berdemo itu belajar di perguruan tinggi.
Jadi semua yang berdemo itu adalah mahasiswa.
Premis hanya berbicara tentang sebagian besar yang berdemo, tetapi kesimpulan justru mengatakan tentang semua yang berdemo.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Induktif adalah salah satu bentuk pemikiran, dari soal-soal yang khusus, membawanya kepada kesimpulan yang umum. Atau berpikir dari soal-soal yang konkrit kepada soal-soal yang abstrak.
Analogi adalah landasan umum dari penyimpulan yang kita lakukan setiap hari dari pengalaman yang lalu ke apa yang akan terjadi dimasa mendatang. Yang menjadi titik perhatian dalam analogi induktif adalah hal-hal yang analog.
Menurut Dr. Gorys Keraf, generalisasiadalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena itu.
Deduksi adalah kebalikan dari induksi. Jadi deduksi adalah mengambil atau menetapkan kesimpulan-kesimpulan khusus dari kesimpulan umum.
Dalam penyimpulan deduktif yang benar, kesimpulan atau konklusi selalu valid atau sahih lantaran kesimpulan sebenarnya sudah terkandung dalam premis. Karena itu kebenaran konklusi dalam deduksi sangat tergantung pada kebenaran-kebenaran dalam premis. Maka kesimpulan yang lurus dalam metode deduktif ini selalu sahih, bahkan dari materi yang tidak benar.
B.     Saran
Setelah kita mengetahui pengertian dan tatacara penggunaan penalaran logika induktif dan deduktif, alangkah baiknya bila kita menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kita bisa berpikir dan berbicara dengan baik dengan menggunakan metode penalaran induktif dan deduktif.


DAFTAR RUJUKAN


[1] Sunardji Dahri Tiam, Langkah-langkah Berpikir Logis (Pamekasan: STAIN Pamekasan, 2006) hlm., 43.
[2] Karomani, Logika (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) hlm., 108.
[3]Tiam, Langkah-langkah Berpikir Logis, hlm. 43-44.
[4] Benyamin Molan, Logika: Ilmu dan Seni Berpikir Kritis (Jakarta: INDEKS, 2012) hlm., 133.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar