Rabu, 25 Desember 2019

PEMBAGIAN HADIST DARI SEGI KUALITASNYA


KATA PENGANTAR

                  Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan kekuatan lahir batin sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
                  Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen yang telah membimbing serta memberi arahan kepada kami dalam menyusun dan menyelesaikan makalah ini. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung kami.
                  Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan menambah pemahaman serta wawasan kita tentang  pembagian hadits dari segi kualitasnya meliputi hadits shahih, hasan, dan syaratnya.
                  Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada semua pembaca dan pakar dimohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
                  Kepada semua pihak yang telah memberikan saran dan kritik demi sempurnanya makalah ini, kami ucapkan terimakasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
                  Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin



Pamekasan, 29 Agustus 2016


     Penyusun      





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................        i
DAFTAR ISI................................................................................................                    ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................        1
A.    Latar belakang.............................................................................        1
B.     Rumusan masalah........................................................................        1
C.     Tujuan penulisan..........................................................................        2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................        3
A.    Pembagian hadits ditinjau dari segi kualitasnya..........................        3
B.     Hadits shahih...............................................................................        3
1.      Pengertian hadits shahih..................................................        3
2.      Syarat-syarat hadits shahih..............................................        4
3.      Macam-macam hadits shahih..........................................        6
4.      Kehujjahan hadits shahih................................................        7
C.     Hadits hasan................................................................................        8
1.      Pengertian hadits hasan...................................................        8
2.      Syarat-syarat hadits hasan...............................................        8
3.      Macam-macam hadits hasan............................................        9
4.      Kehujjahan hadits hasan..................................................        10
BAB III PENUTUP.....................................................................................        12
A.    Kesimpulan..................................................................................        12
B.     Saran............................................................................................        12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................        13



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hadits merupakan sumber ajaran agama islam setelah Al – Qur’an. Bila dilihat dari segi periwayatannya jelas berbeda antara Al-qur’an dengan hadist. Untuk Al-qur’an semua periwayatan berlangsung secara mutawatir, sedangkan periwayatan hadist sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Berawal dari hal tersebut sehingga timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas sebuah hadist sekaligus sebagai sumber perdebatan, yang akibatnya bukan kesepakatan yang didapatkan tetapi sebaliknya justru perpecahan.
Kemudian berawal dari sebuah pertanyaan, “apakah hadis ini atau hadist itu dapat dijadikan hujjah atau tidak?” salah satu kelompok dengan kuat mempertahankan pendapatnya sementara kelompok lain dengan gigih bersikap serupa.
Mayoritas ulama’ berbeda pendapat dalam pengkajian hadist. Hadist yang sering dijumpai tidak serta merta dapat diterima secara langsung, hadist yang didapati perlu adanya pencarian jati diri hadist tersebut untuk dijadikan landasan hidup.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk memuat pembagian hadist yang selama ini beredar terutama hadist dari segi kualitasnya yang meliputi hadits shahih, hadits hasan, dan syaratnya. Mudah-mudahan dapat mengurangi tingkat kekeliruan dalam memahami hadist dari segi kualitasnya yang meliputi hadits shahih, hadits hasan, dan syaratnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pembagian hadits dilihat dari isi kualitasnya ?
2.      Apa yang dimaksud dengan hadits shahih dan hadits hasan ?
3.      Apa saja syarat-syarat hadits shahih ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk memenuhi tugas dari dosen.
2.      Untuk menjelaskan tentang pembagian hadits dilihat dari isi kualitanya.
3.      Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang hadits shahih dan hadits hasan.
4.      Untuk mengetahui syarat-syarat hadits shahih.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pembagian Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitasnya
Ditinjau dari aspek perawinya, hadits terdiri dari hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits mutawatir telah disepakati para ulama bahwa telah termasuk kedalam hadits shahih yang tidak dipermasalahkan lagi keberadaannya. Sedangkan hadits ahad masih dipermasalahkan keberadaannya. Berdasarkan penelitian para ulama diketahui bahwa ternyata tingkat kualitas hadits ahad tidak sama. Oleh karena itu, ditinjau dari segi sanad dan matan-nya atau berdasarkan kuat dan lemahnya, hadits dibagi menjadi 2 golongan, yaitu hadits maqbul dan hadits mardud.[1]
                  Yang dimaksud hadits maqbul yaitu hadits yang memenuhi syarat untuk diterima sebagai dalil dalam perumusan hukum atau sebagai sumber ajaran agama islam. Hadits maqbul ini terdiri dari hadits shahih dan hadits hasan. Sedangkan yang dimaksud dengan hadits mardud adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk diterima sebagai dalil dalam perumusan hukum atau sebagai sumber ajaran agama islam. Hadits mardud inilah yang disebut dengan hadits dha’if.[2]

B.     Hadits Shahih
1.      Pengertian Hadits Shahih.
Kata shahih berasal dari bahasa Arab as-shahih, bentuk pluralnya ashihha’ dan berakar kata pada shahha. Dari segi bahasa kata ini memiliki beberapa arti, diantaranya yaitu selamat dari penyakit, dan bebas dari aib / cacat. Sedangkan pengertian hadits adalah khabar (berita).[3]
Dari segi istilah, para ulama berpendapat bahwa hadits shahih adalah : “hadits yang sanad-nya bersambung (sampai kepada Nabi Muhammad), diriwayatkan oleh (periwayat) yang ‘adil dan dhabith sampai akhir sanad, (didalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat)”.[4]
                  Definisi diatas dikemukakan oleh Ibn as-Shalah oleh an-Nawawi yang dalam kata-kata ringkas menjadi : “Hadits shahih adalah hadits yang sanad-nya bersambung sampai Nabi dan diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabith serta tidak terdapat dalam hadits itu kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat).”[5]
2.      Syarat-syarat Hadits Shahih.
Dari definisi tersebut diatas, maka untuk dapat dikatan hadits shahih harus memenuhi syarat-syarat  sebagai berikut :
a)      Ittishalus sanad (bersambung-sambung sanadnya).
Ittishalus sanad artinya bersambung-sambung sanad-nya mulai dari awal sanad sampai dengan akhir sanad tidak boleh ada yang putus atau gugur perawinya. Sebagaimana contoh hadits :
انمااﻻعمال بالنيات 
                  Dari hadits diatas, Imam Bukhari menerima langsung dari Al Humaidi yang Humaidi ini menerimanya dari Sufyan dan seterusnya sampai kepada Nabi saw. Jadi mulai dari Imam Bukhari (sebagai mukharrij) sampai dengan Nabi saw. Sanadnya merupakan mata rantai yang tidak terputus.
b)      Semua perawinya orang-orang yang adil.
Semua perawinya yang meriwayatkan hadits tersebut adalah orang yang adil. Pengertian adil, disamping orang-orang itu harus muslim, baligh, dan berakal sehat, para ulama’ juga berbeda pendapat tentang sifat yang lain yang harus ada. Sebagian ulama’ mengatakan  harus tidak pernah berbuat dosa besar dan tidak menjalankan dosa kecil yang berulang kali. Sebagian lagi berpendapat bahwa ialah orang yang selalu terbiasa dalam perbuatan-perbuatan tha’at dan menjaga muruahnya (kehormatannya) sesuai dengan kedudukannya.
c)      Semua perawinya orang-orang yang dhabith.
Semua perawinya harus dhabith. Dhabith artinya orang yang hafal serta teliti sehingga ia hafal apa yang ia dengar dan ia dapat mengeluarkannya dengan mudah bilamana dikehendakinya. Jadi mereka mempunyai tiga fungsi otak yang baik, yaitu :
1)      Dalam retention (mengecamkan)
2)      Remembering (mengingat)
3)      Recalling (mereprodusikan kembali)
Pengertian dhabith sebagaimana tersebut dinamakan dhabith shadran. Selain dhabit shadran ada pula dhabith kitaban maksudnya cukup bersungguh-sungguh dan berhati-hati diwaktu menuliskan apa yang didengarnya, terhindar dari kekeliruan atau salah, kemudian ia memelihara tulisan itu dengan baik. Sehingga diwaktu ia hendak menyampaikan tulisan tersebut kepada orang lain, masih tetap seperti keadaan semula.
d)     Hadits itu selamat dari ’illat / cacat.
Hadits itu selamat dari ‘illat qadihah, maksudnya hadits tersebut tidak terdapat didalamnya cacat-cacat yang dapat mencacatkan hadits itu. Baik cacat tersebut dalam sanad seperti tampaknya sanad tersebut bersambung-sambung ternyata terputus, atau tampaknya sabda Nabi saw. tetapi nyatanya hanya kata sahabat.
e)      Hadits itu selamat dari syadz (tidak menentang hadits yang lebih rajih).
Hadits itu selamat dari syadz. Syadz menurut bahasa berarti menyendiri. Yang dimaksud disini ialah bahwa sanad atau matan yang diriwayatkan orang yang tsiqah (orang adil lagi dhabith), tetapi sanad atau matan itu menyalahi riwayat beberapa orang tsiqah yang lain dengan adanya tambahan atau pengurangan dari hadits tersebut.
Kalau hadits itu sudah memenuhi lima syarat sebagaimana tersebut diatas, jumhur ulama’ sudah sepakat menetapkan bahwa hadits itu merupakan hadits shahih. Hanya sebagian ulama’ masih mensyaratkan bahwa hadits shahih itu paling sedikit mempunyai dua sanad sehingga tiap tabaqat harus paling sedikit dua orang perawi, yang berpendapat demikian antara lain : Abu’ Ali Al Jubai dari golongan mu’tazilah. Yang demikian itu sama dengan tindakan kholifah Umar bin Khattab terhadap orang yang meriwayatkan hadits diharuskan ada saksi orang lain yang juga menerima hadits itu dari Nabi SAW. Hal ini dilakukan kalau sahabat meriwayatkan itu bukan sahabat yang benar-benar telah diyakini oleh beliau seperti sahabat Ali R.A, maka Umar tidak minta saksi kepada orang lain. Tetapi jumhur ulama’ tidak mengharuskan atau mensyaratkan minimal dua orang perawi tersebut, sehingga kalau lima syarat tersebut di penuhi maka hadits itu dinyatakan sebagai hadits shahih. [6]
3.      Macam-macam Hadits Shahih.
Hadits shahih yaitu terbagi menjadi dua bagian, yaitu hadits shahih lidzatih dan hadits shahih lighairih. Hadits shahih lidzatih adalah hadits yang karena keadaan dirinya sendiri telah memenuhi kelima kriteria hadits shahih sebagaimana dikemukakan diatas. Misalnya, hadits yang berbunyi : “qala rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam : al-muslim man salima al-muslimun min lisanihi  wa yadihi wa al-muhajir man hajarah man naha allahu ‘anhu mattafaq ‘alaihi” (orang islam adalah orang yang tidak mengganggu muslim-muslim lainnya, baik dengan lidah maupun tangannya; dan orang berhijrah itu adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah).
Hadits ini antara lain diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan sanad sebagai berikut :
a.       Adam ibn Iyas
b.      Syu’bah
c.       1. Ismail
2. Ibn Safar
d. Al-Sya’by
e. Abdullah ibn Amr ibn Ash.
Rawi dan sanad al-Bukhari ini semuanya memenuhi kriteria hadits shahih lidzatih. Oleh karena itu, hadits tersebut termasuk hadits shahih lidzatih.
      Adapun hadits shahih lighairih adalah hadits yang shahihnya lantaran dibantu oleh keterangan yang lain. Jadi, pada diri hadits itu belum mencapai kualitas shahih, kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya sehingga hadits tersebut meningkat menjadi shahih lighairih.
                  Syuhudi Ismail memberikan contoh sebagai berikut : misalnya, dua hadits yang semakna dan sama-sama berkualitas hasan lidzatih atau sebuah hadits hasan lidzatih kemudian ada ayat yang bersesuaian benar dengan hadits tersebut maka kualitas hadits itu meningkat menjadi hadits hasan lidzatih lighairih. Demikian juga bila ada hadits hasan lidzatih maka dilihat dari jurusan hadits yang tadinya berkualitas hasan tersebut menjadilah ia hadits shahih lighairih. Sedangkan yang berkualitas shahih lidzatih tetap berkualitas sebagaimana asalnya.
      Contoh : “lawla an asyuqqa ‘ala ummatiy la-amartahum bi as-siwak ‘inda kulli shalatin rawahu al-bukhari ‘an abiy hurairah” (sekiranya tidak akan memberatkan kepada umatku, niscaya akan ku perintahkan untuk siwakan setiap menjelang shalat).
      Salah seorang perawi dari sanad hadits ini ada yang bernama Muhammad ibn Amr ibn ‘Alqamah, dia termasuk orang yang kepercayaan , tetapi hafalannya oleh ulama’ di perselisihkan kesempurnaannya. Tetapi rawi-rawi yang lain pada sanad itu semuanya tsiqah. Karenanya, kualitas hadits tersebut hasan lidzatih. Kemudian, ada sanad lain yang memuat hadits tersebut. Alhasil, hadits tersebut meningkat derajatnya menjadi hadits shahih lighairih. [7]
4.      Kehujjahan Hadits Shahih.
Para ulama’ ahli hadits dan sebagian ulama’ ahli ushul serta serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama’ menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Qur’an dan hadits mutawatir. Oleh karena, itu hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah. Sedangkan sebagian ulama’ lainnya dan Ibn Hazm al-Dhahiri menetapkan bahwa hadits shahih memfaedahkan ilmu qat’i dan wajib diyakini. Dengan demikian hadits shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu aqidah.[8]

C.    Hadits Hasan
1.      Pengertian Hadits Hasan.
Kata hasan secara bahasa berarti “yang baik / yang bagus.” Menurut terminologis, hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanad-nya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah daya hafalnya tapi tidak rancu dan tidak bercacat.” Ada juga definisi lain, yaitu tiap-tiap hadits yang pada sanad-nya tidak terdapat rawi yang tertuduh dusta, (pada matan-nya) tidak ada kejanggalan (syadz), dan (hadits tersebut) diriwayatkan pula melalui jalur lain.[9]
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali hanya dibidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.[10]
2.      Syarat-syarat Hadits Hasan.
Kalau dicermati definisi-definisi diatas maka dapat dikatakan bahwa hadits hasan dan hadits shahih pada prinsipnya sama dalam berbagai hal. Adapun perbedaannya terdapat pada dhabith-an periwayat. Dengan demikian, dapat diformulasikan bahwa syarat hadits hasan adalah :
1)      Sanad-nya bersambung.
2)      Para periwayat bersifat adil (tidak ada yang tertuduh berdusta).
3)      Diantara periwayat terdapat orang yang kurang dhabith.
4)      Sanad dan matan hadits terhindar dari syudzudz (kejanggalan) dan ’illat.[11]
Perbedaan hadits Shahih dan hadits hasan terletak pada kedhabithannya. Jika hadits Shahih tingkat dhabith-nya harus tinggi, maka hadits hasan tingkat kedhabithannya berada dibawahnya. Contoh hadits hasan adalah seperti hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Amr bin al-Qamah, dari Salamah, dari Abu Hurairah. Dalam hadits ini, hadits dikategorikan hasan dikarenakan Muhammad bin Amr bin al-Qamah dikenal tingkat hafalannya yang tidak luar biasa.[12]
3.      Macam-macam Hadits Hasan.
Hadits hasan terbagi menjadi 2, yaitu :
1)      Hadits Hasan Lidzatihi
Menurut Ibnu Hajar, definisi hadits hasan lidzatihi adalah hadits yang terkenal para perawinya tentang kejujuran dan amanahnya tetapi hafalan dan keteguhan hafalannya tidak mencapai derajat para perawi hadits shahih.
Sedangkan menurut Ibnu Shalah, definisi hadits hasan lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, yang kurang dhabith, yang tidak syadz serta tidak mempunyai ‘illat.
Contoh hadits hasan lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dalam kitab sunannya yang artinya : “Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, menceritakan kepada kami ‘Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin Amer, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairah ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw. : Sekiranya tidak memberatkan kepada umatku, tentu aku memerintahkan bersiwaq pada tiap-tiap akan shalat”.
Semua perawi hadits tersebut mulai dari Turmudzi sampai dengan Nabi sanad-nya bersambung-sambung, yakni tiap seseorang mendengar langsung dari yang lain. Dan semua perawinya adalah termasuk orang yang adil dan dhabith, kecuali Muhammad bin Amer, ia kurang kedhabithannya. Namun karena hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dan juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Al Baihaqi, Abu Na’im (walau dengan lafadz yang agak berbeda), maka hadits Imam Turmudzi ini naik tingkatannya menjadi hadits shahih lighairihi.
2)      Hadits Hasan Lighairihi
Menurut Ibnu Hajar, definisi hadits hasan ligharihi adalah hadits yang terdapat dalam sanad-nya perawi yang mastur (tidak diketahui keadaannya), yang tidak kuat hafalannya, tidak dapat dipastikan keahliannya. Tetapi perawi itu bukan orang yang terlalu lengah dan bukan pula orang yang banyak salah dalam meriwayatkan hadits, tidak tertuduh dusta dan tidak pula dinisbatkan/dibangsakan kepada suatu pekerjaan yang dapat memfasikkan yang selain dari dusta, tetapi hadits itu dibantu oleh tabi’ atau syahid.
Sedangkan menurut Ibnu Shalah, definisi hadits hasan lighairihi adalah  hadits dhaif yang ada mutabi’nya.
Contoh hadits hasan lighairihi yaitu artinya : “Telah menceritakan kepada kami, Ahmad bin Mani’ telah menceritakan kepada kami, Husyaim, dari Yazid bin Abi Ziyad, dari Abdirrahman bin Abi Laila, dari Al Bara’ bin ‘Azib, ia bberkata : Telah bersabda Rasulullah saw. : Sesungguhnya satu kewajiban atas orang-orang islam mandi pada hari Jum’at”.
Rawi-rawi yang ada didalam sanad tersebut semuanya adalah orang yang kepercayaan, kecuali Husyaim, ia terkenal sebagai orang mudallis, oleh karena itu riwayatnya dianggap lemah. Namun karena hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Turmudzi melalui sanad yang lain, walaupun juga ada orang yang dianggap lemah, maka hadits tersebut naik tingkatannya menjadi hadits hasan lighairihi.[13]


4.      Kehujjahan Hadits Hasan.
            Adapun kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa hadits hasan sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama, bahkan ada sebagian ulama yang memasukkan hadits hasan kedalam kelompok hadits shahih baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi.
            Maka dari itu, para ahli hukum banyak beramal menggunakan dasar dari hadits hasan, sekalipun mereka tetap berpegang pada persyaratan keafsahan hasan li ghairihi sebagai hujjah, yaitu:
a.       Meminimalisir kekurangan-kekurangan yang ada.
b.      Hadits tersebut tertutup oleh banyaknya periwayatan hadits lain, baik redaksinya sama atau hampir sama.[14]





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam menanggapi masalah apakah hadits shahih itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum secara umum maka dalam hal ini para muhaddisin, sebagian ahli ushul dan ahli fiqh bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan.
            Adapun kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa hadits hasan sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama, bahkan ada sebagian ulama yang memasukkan hadits hasan kedalam kelompok hadits shahih baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi.
Jika dalam satu hadis telah hilang satu syarat saja dari sekian syara-syarat hadits hasan, maka hadits tersebut dinyatakan sebagai hadits dha’if. Apalagi yang hilang itu sambai dua atau tiga syarat maka inilah yang dikatakan sebagai hadis dha’if dan status semua hadis dha’if adalah mardud (tertolak) dan tidak bias dijadikan hujjah.

B.     Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiannya kami selaku manusia biasa menyadari adanya beberapa kesalahan oleh karena itu kami mnegharapkan kritik maupun saran khususnya dari Dosen Pembimbing Bapak Jamal Abd. Nasir, Lc, M. Th.I yang bersifat membantu dan membangun agar kami tidak melakukan kesalahan yang sama dalam penyusunan makalah yang akan datang.





DAFTAR PUSTAKA

Dr. M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis. Yogyakarta: Teras, 2010.
Dr. Moh. Anwar Bc. Hk. Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas, 1981.
Mohammad Nor Ichwan, M.Ag. Studi Ilmu Hadis. Semarang: RaSAIL, 2007.



[1] Dr. M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 243.
[2] Joni, “Hadits ditinjau dari segi kualitasnya: pengertian,syarat, dan macam-macam hadits shahih, hasan, dan dha’if”, http://jonirpm.blogspot.co.id/2015/11/makalah-hadits-ditinjau-dari-segi.html, pada tanggal 29 agustus 2016 pukul 19:57.
[3] Dr. M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 244.
[4] Dr. M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 244.
[5] Ibid., hlm. 245.
[6] Drs. Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits (Surabaya: AL-IKHLAS, 1981), hlm. 34-35.
[7] Dr. M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 249-250.
[8] Mohammad Nor Ichwan, M.Ag, Studi Ilmu Hadis (Semarang : RaSAIL, 2007), hlm.
[9] Dr. M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 260-261.
[10] Harianto Ishak, “Hadits Hasan”, http://filsafatlombok.blogspot.co.id/2013/12/hadits-hasan.html, pada tanggal 30 agustus 2016 pukul 21:36.
[11] Dr. M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 262.
[12] Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki (2006). Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar ISBN 979-24-5855-7
[13] Drs. Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits (Surabaya: AL-IKHLAS, 1981), hlm. 61-64.
[14] Joni, “Hadits ditinjau dari segi kualitasnya: pengertian,syarat, dan macam-macam hadits shahih, hasan, dan dha’if”, http://jonirpm.blogspot.co.id/2015/11/makalah-hadits-ditinjau-dari-segi.html, pada tanggal 29 agustus 2016 pukul 19:57.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar