KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
kekuatan lahir batin sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam
semoga tetap dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada dosen yang telah membimbing serta memberi arahan kepada kami dalam
menyusun dan menyelesaikan makalah ini. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung kami.
Kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan menambah pemahaman serta wawasan kita
tentang pembagian hadits dari segi
kualitasnya meliputi hadits shahih, hasan, dan syaratnya.
Kami menyadari bahwa makalah ini
masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada semua pembaca
dan pakar dimohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.
Kepada semua pihak yang telah
memberikan saran dan kritik demi sempurnanya makalah ini, kami ucapkan
terimakasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin
Pamekasan, 29 Agustus 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar
belakang............................................................................. 1
B. Rumusan
masalah........................................................................ 1
C. Tujuan
penulisan.......................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN............................................................................. 3
A. Pembagian
hadits ditinjau dari segi kualitasnya.......................... 3
B. Hadits
shahih............................................................................... 3
1. Pengertian
hadits shahih.................................................. 3
2. Syarat-syarat
hadits shahih.............................................. 4
3. Macam-macam
hadits shahih.......................................... 6
4. Kehujjahan
hadits shahih................................................ 7
C. Hadits
hasan................................................................................ 8
1. Pengertian
hadits hasan................................................... 8
2. Syarat-syarat
hadits hasan............................................... 8
3. Macam-macam
hadits hasan............................................ 9
4. Kehujjahan
hadits hasan.................................................. 10
BAB
III PENUTUP..................................................................................... 12
A. Kesimpulan.................................................................................. 12
B. Saran............................................................................................ 12
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................... 13
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hadits
merupakan sumber ajaran agama islam setelah Al – Qur’an. Bila dilihat
dari segi periwayatannya jelas berbeda antara Al-qur’an dengan hadist. Untuk
Al-qur’an semua periwayatan berlangsung secara mutawatir, sedangkan
periwayatan hadist sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian
lagi berlangsung secara ahad. Berawal dari hal tersebut sehingga timbul
berbagai pendapat dalam menilai kualitas sebuah hadist sekaligus sebagai sumber
perdebatan, yang akibatnya bukan kesepakatan yang didapatkan tetapi sebaliknya
justru perpecahan.
Kemudian
berawal dari sebuah pertanyaan, “apakah hadis ini atau hadist itu dapat
dijadikan hujjah atau tidak?” salah satu kelompok dengan kuat
mempertahankan pendapatnya sementara kelompok lain dengan gigih bersikap
serupa.
Mayoritas
ulama’ berbeda pendapat dalam pengkajian hadist. Hadist yang sering dijumpai
tidak serta merta dapat diterima secara langsung, hadist yang didapati perlu
adanya pencarian jati diri hadist tersebut untuk dijadikan landasan hidup.
Bertitik
tolak dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk memuat pembagian hadist
yang selama ini beredar terutama hadist dari segi kualitasnya yang meliputi
hadits shahih, hadits hasan, dan syaratnya. Mudah-mudahan dapat
mengurangi tingkat kekeliruan dalam memahami hadist dari segi kualitasnya yang
meliputi hadits shahih, hadits hasan, dan syaratnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pembagian hadits dilihat dari isi kualitasnya ?
2. Apa
yang dimaksud dengan hadits shahih dan hadits hasan ?
3. Apa
saja syarat-syarat hadits shahih ?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
memenuhi tugas dari dosen.
2. Untuk
menjelaskan tentang pembagian hadits dilihat dari isi kualitanya.
3. Untuk
menambah pengetahuan dan wawasan tentang hadits shahih dan hadits hasan.
4. Untuk
mengetahui syarat-syarat hadits shahih.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pembagian Hadits
Ditinjau Dari Segi Kualitasnya
Ditinjau
dari aspek perawinya, hadits terdiri
dari hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits mutawatir telah disepakati para ulama bahwa telah termasuk kedalam
hadits shahih yang tidak
dipermasalahkan lagi keberadaannya. Sedangkan hadits ahad masih dipermasalahkan keberadaannya. Berdasarkan penelitian
para ulama diketahui bahwa ternyata tingkat kualitas hadits ahad tidak sama. Oleh karena itu, ditinjau
dari segi sanad dan matan-nya atau berdasarkan kuat dan
lemahnya, hadits dibagi menjadi 2 golongan, yaitu hadits maqbul dan hadits mardud.[1]
Yang dimaksud
hadits maqbul yaitu hadits yang
memenuhi syarat untuk diterima sebagai dalil dalam perumusan hukum atau sebagai
sumber ajaran agama islam. Hadits maqbul
ini terdiri dari hadits shahih dan
hadits hasan. Sedangkan yang dimaksud
dengan hadits mardud adalah hadits
yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk diterima sebagai dalil dalam perumusan
hukum atau sebagai sumber ajaran agama islam. Hadits mardud inilah yang disebut dengan hadits dha’if.[2]
B.
Hadits
Shahih
1. Pengertian
Hadits Shahih.
Kata shahih berasal dari bahasa Arab as-shahih, bentuk pluralnya ashihha’ dan berakar kata pada shahha. Dari segi bahasa kata ini
memiliki beberapa arti, diantaranya yaitu selamat dari penyakit, dan bebas dari
aib / cacat. Sedangkan pengertian hadits adalah khabar (berita).[3]
Dari segi istilah, para
ulama berpendapat bahwa hadits shahih adalah : “hadits yang sanad-nya
bersambung (sampai kepada Nabi Muhammad), diriwayatkan oleh (periwayat) yang ‘adil dan dhabith sampai akhir sanad, (didalam hadits itu) tidak
terdapat kejanggalan (syadz) dan
cacat (‘illat)”.[4]
Definisi
diatas dikemukakan oleh Ibn as-Shalah oleh an-Nawawi yang dalam kata-kata
ringkas menjadi : “Hadits shahih adalah hadits yang sanad-nya
bersambung sampai Nabi dan diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabith
serta tidak terdapat dalam hadits itu kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat).”[5]
2. Syarat-syarat
Hadits Shahih.
Dari definisi tersebut
diatas, maka untuk dapat dikatan hadits shahih harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a)
Ittishalus sanad
(bersambung-sambung sanadnya).
Ittishalus
sanad artinya bersambung-sambung sanad-nya mulai
dari awal sanad sampai dengan akhir sanad tidak boleh ada yang
putus atau gugur perawinya. Sebagaimana contoh hadits :
انمااﻻعمال بالنيات
Dari hadits diatas, Imam Bukhari
menerima langsung dari Al Humaidi yang Humaidi ini menerimanya dari Sufyan dan
seterusnya sampai kepada Nabi saw. Jadi mulai dari Imam Bukhari (sebagai
mukharrij) sampai dengan Nabi saw. Sanadnya merupakan mata rantai yang tidak
terputus.
b)
Semua perawinya
orang-orang yang adil.
Semua
perawinya yang meriwayatkan hadits tersebut adalah orang yang adil.
Pengertian adil, disamping orang-orang itu harus muslim, baligh, dan
berakal sehat, para ulama’ juga berbeda pendapat tentang sifat yang lain yang
harus ada. Sebagian ulama’ mengatakan harus
tidak pernah berbuat dosa besar dan tidak menjalankan dosa kecil yang berulang
kali. Sebagian lagi berpendapat bahwa ialah orang yang selalu terbiasa dalam
perbuatan-perbuatan tha’at dan menjaga muruahnya (kehormatannya) sesuai
dengan kedudukannya.
c)
Semua perawinya
orang-orang yang dhabith.
Semua
perawinya harus dhabith. Dhabith artinya orang yang hafal serta
teliti sehingga ia hafal apa yang ia dengar dan ia dapat mengeluarkannya dengan
mudah bilamana dikehendakinya. Jadi mereka mempunyai tiga fungsi otak yang
baik, yaitu :
1) Dalam
retention (mengecamkan)
2) Remembering (mengingat)
3) Recalling (mereprodusikan
kembali)
Pengertian
dhabith sebagaimana tersebut dinamakan dhabith shadran. Selain dhabit
shadran ada pula dhabith kitaban maksudnya cukup bersungguh-sungguh
dan berhati-hati diwaktu menuliskan apa yang didengarnya, terhindar dari
kekeliruan atau salah, kemudian ia memelihara tulisan itu dengan baik. Sehingga
diwaktu ia hendak menyampaikan tulisan tersebut kepada orang lain, masih tetap
seperti keadaan semula.
d)
Hadits itu
selamat dari ’illat / cacat.
Hadits
itu selamat dari ‘illat qadihah, maksudnya hadits tersebut tidak
terdapat didalamnya cacat-cacat yang dapat mencacatkan hadits itu. Baik cacat
tersebut dalam sanad seperti tampaknya sanad tersebut
bersambung-sambung ternyata terputus, atau tampaknya sabda Nabi saw. tetapi
nyatanya hanya kata sahabat.
e)
Hadits itu
selamat dari syadz (tidak menentang hadits yang lebih rajih).
Hadits
itu selamat dari syadz. Syadz menurut bahasa berarti menyendiri.
Yang dimaksud disini ialah bahwa sanad atau matan yang
diriwayatkan orang yang tsiqah (orang adil lagi dhabith),
tetapi sanad atau matan itu menyalahi riwayat beberapa orang tsiqah
yang lain dengan adanya tambahan atau pengurangan dari hadits tersebut.
Kalau hadits itu sudah memenuhi lima syarat
sebagaimana tersebut diatas, jumhur ulama’ sudah sepakat menetapkan
bahwa hadits itu merupakan hadits shahih. Hanya sebagian ulama’ masih mensyaratkan
bahwa hadits shahih itu paling sedikit mempunyai dua sanad sehingga
tiap tabaqat harus paling sedikit dua orang perawi, yang berpendapat
demikian antara lain : Abu’ Ali Al Jubai dari golongan mu’tazilah. Yang
demikian itu sama dengan tindakan kholifah Umar bin Khattab terhadap orang yang
meriwayatkan hadits diharuskan ada saksi orang lain yang juga menerima hadits
itu dari Nabi SAW. Hal ini dilakukan kalau sahabat meriwayatkan itu bukan
sahabat yang benar-benar telah diyakini oleh beliau seperti sahabat Ali R.A,
maka Umar tidak minta saksi kepada orang lain. Tetapi jumhur ulama’
tidak mengharuskan atau mensyaratkan minimal dua orang perawi tersebut, sehingga
kalau lima syarat tersebut di penuhi maka hadits itu dinyatakan sebagai hadits shahih.
[6]
3.
Macam-macam Hadits Shahih.
Hadits
shahih yaitu terbagi menjadi dua bagian, yaitu hadits shahih lidzatih
dan hadits shahih lighairih. Hadits shahih lidzatih adalah hadits
yang karena keadaan dirinya sendiri telah memenuhi kelima kriteria hadits shahih
sebagaimana dikemukakan diatas. Misalnya, hadits yang berbunyi : “qala
rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam : al-muslim man salima al-muslimun min
lisanihi wa yadihi wa al-muhajir man
hajarah man naha allahu ‘anhu mattafaq ‘alaihi” (orang islam adalah orang
yang tidak mengganggu muslim-muslim lainnya, baik dengan lidah maupun
tangannya; dan orang berhijrah itu adalah orang yang pindah dari apa yang
dilarang oleh Allah).
Hadits
ini antara lain diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan sanad sebagai berikut :
a.
Adam ibn Iyas
b.
Syu’bah
c.
1. Ismail
2.
Ibn Safar
d. Al-Sya’by
e. Abdullah ibn Amr ibn Ash.
Rawi dan sanad al-Bukhari ini semuanya memenuhi
kriteria hadits shahih lidzatih. Oleh karena itu, hadits tersebut
termasuk hadits shahih lidzatih.
Adapun hadits shahih lighairih
adalah hadits yang shahihnya lantaran dibantu oleh keterangan yang lain. Jadi,
pada diri hadits itu belum mencapai kualitas shahih, kemudian ada
petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya sehingga hadits tersebut meningkat
menjadi shahih lighairih.
Syuhudi
Ismail memberikan contoh sebagai berikut : misalnya, dua hadits yang semakna
dan sama-sama berkualitas hasan lidzatih atau sebuah hadits hasan
lidzatih kemudian ada ayat yang bersesuaian benar dengan hadits tersebut
maka kualitas hadits itu meningkat menjadi hadits hasan lidzatih lighairih.
Demikian juga bila ada hadits hasan lidzatih maka dilihat dari jurusan
hadits yang tadinya berkualitas hasan tersebut menjadilah ia hadits shahih
lighairih. Sedangkan yang berkualitas shahih lidzatih tetap
berkualitas sebagaimana asalnya.
Contoh : “lawla an asyuqqa ‘ala ummatiy
la-amartahum bi as-siwak ‘inda kulli shalatin rawahu al-bukhari ‘an abiy
hurairah” (sekiranya tidak akan memberatkan kepada umatku, niscaya akan ku
perintahkan untuk siwakan setiap menjelang shalat).
Salah seorang perawi dari sanad
hadits ini ada yang bernama Muhammad ibn Amr ibn ‘Alqamah, dia termasuk orang
yang kepercayaan , tetapi hafalannya oleh ulama’ di perselisihkan
kesempurnaannya. Tetapi rawi-rawi yang lain pada sanad itu semuanya tsiqah.
Karenanya, kualitas hadits tersebut hasan lidzatih. Kemudian, ada sanad
lain yang memuat hadits tersebut. Alhasil, hadits tersebut meningkat derajatnya
menjadi hadits shahih lighairih. [7]
4.
Kehujjahan Hadits Shahih.
Para ulama’ ahli hadits dan sebagian ulama’ ahli ushul
serta serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang
wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan
dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang
berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama’ menetapkan dengan dalil-dalil
qat’i, yaitu al-Qur’an dan hadits mutawatir. Oleh karena, itu hadits
ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan
yang berhubungan dengan aqidah. Sedangkan sebagian ulama’ lainnya dan Ibn Hazm
al-Dhahiri menetapkan bahwa hadits shahih memfaedahkan ilmu qat’i dan
wajib diyakini. Dengan demikian hadits shahih dapat dijadikan hujjah
untuk menetapkan suatu aqidah.[8]
C.
Hadits Hasan
1.
Pengertian Hadits Hasan.
Kata hasan secara bahasa berarti “yang baik /
yang bagus.” Menurut terminologis, hadits hasan adalah hadits yang
bersambung sanad-nya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang
rendah daya hafalnya tapi tidak rancu dan tidak bercacat.” Ada juga definisi
lain, yaitu tiap-tiap hadits yang pada sanad-nya tidak terdapat rawi
yang tertuduh dusta, (pada matan-nya) tidak ada kejanggalan (syadz),
dan (hadits tersebut) diriwayatkan pula melalui jalur lain.[9]
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada
perbedaan, kecuali hanya dibidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada
yang kurang meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits
hasan dengan hadits shahih adalah sama.[10]
2.
Syarat-syarat Hadits Hasan.
Kalau
dicermati definisi-definisi diatas maka dapat dikatakan bahwa hadits hasan
dan hadits shahih pada prinsipnya sama dalam berbagai hal. Adapun
perbedaannya terdapat pada dhabith-an periwayat. Dengan demikian, dapat
diformulasikan bahwa syarat hadits hasan adalah :
1) Sanad-nya bersambung.
2) Para periwayat bersifat adil (tidak ada yang tertuduh
berdusta).
3) Diantara periwayat terdapat orang yang kurang dhabith.
Perbedaan hadits Shahih dan hadits hasan terletak pada kedhabithannya.
Jika hadits Shahih tingkat dhabith-nya harus tinggi, maka hadits hasan
tingkat kedhabithannya berada dibawahnya. Contoh hadits hasan
adalah seperti hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad bin
Amr bin al-Qamah, dari Salamah, dari Abu Hurairah. Dalam hadits ini,
hadits dikategorikan hasan dikarenakan Muhammad bin Amr bin al-Qamah
dikenal tingkat hafalannya yang tidak luar biasa.[12]
3.
Macam-macam Hadits Hasan.
Hadits
hasan terbagi menjadi 2, yaitu :
1) Hadits Hasan Lidzatihi
Menurut Ibnu Hajar, definisi hadits hasan lidzatihi
adalah hadits yang terkenal para perawinya tentang kejujuran dan amanahnya
tetapi hafalan dan keteguhan hafalannya tidak mencapai derajat para perawi hadits
shahih.
Sedangkan menurut Ibnu Shalah, definisi hadits hasan
lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, yang
kurang dhabith, yang tidak syadz serta tidak mempunyai ‘illat.
Contoh hadits hasan lidzatihi adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dalam kitab sunannya yang artinya : “Telah
menceritakan kepada kami Abu Kuraib, menceritakan kepada kami ‘Abdah bin
Sulaiman dari Muhammad bin Amer, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairah ia berkata
: telah bersabda Rasulullah saw. : Sekiranya tidak memberatkan kepada umatku,
tentu aku memerintahkan bersiwaq pada tiap-tiap akan shalat”.
Semua perawi hadits tersebut mulai dari Turmudzi
sampai dengan Nabi sanad-nya bersambung-sambung, yakni tiap seseorang
mendengar langsung dari yang lain. Dan semua perawinya adalah termasuk orang
yang adil dan dhabith, kecuali Muhammad bin Amer, ia kurang kedhabithannya.
Namun karena hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dan juga
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Al Baihaqi, Abu Na’im (walau dengan
lafadz yang agak berbeda), maka hadits Imam Turmudzi ini naik tingkatannya
menjadi hadits shahih lighairihi.
2) Hadits Hasan Lighairihi
Menurut Ibnu Hajar, definisi hadits hasan ligharihi
adalah hadits yang terdapat dalam sanad-nya perawi yang mastur
(tidak diketahui keadaannya), yang tidak kuat hafalannya, tidak dapat
dipastikan keahliannya. Tetapi perawi itu bukan orang yang terlalu lengah dan
bukan pula orang yang banyak salah dalam meriwayatkan hadits, tidak tertuduh
dusta dan tidak pula dinisbatkan/dibangsakan kepada suatu pekerjaan yang dapat
memfasikkan yang selain dari dusta, tetapi hadits itu dibantu oleh tabi’
atau syahid.
Sedangkan menurut Ibnu Shalah, definisi hadits hasan
lighairihi adalah hadits dhaif
yang ada mutabi’nya.
Contoh hadits hasan lighairihi yaitu artinya :
“Telah menceritakan kepada kami, Ahmad bin Mani’ telah menceritakan kepada
kami, Husyaim, dari Yazid bin Abi Ziyad, dari Abdirrahman bin Abi Laila, dari
Al Bara’ bin ‘Azib, ia bberkata : Telah bersabda Rasulullah saw. : Sesungguhnya
satu kewajiban atas orang-orang islam mandi pada hari Jum’at”.
Rawi-rawi yang ada didalam sanad tersebut
semuanya adalah orang yang kepercayaan, kecuali Husyaim, ia terkenal sebagai
orang mudallis, oleh karena itu riwayatnya dianggap lemah. Namun karena
hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Turmudzi melalui sanad yang lain,
walaupun juga ada orang yang dianggap lemah, maka hadits tersebut naik
tingkatannya menjadi hadits hasan lighairihi.[13]
4.
Kehujjahan Hadits Hasan.
Adapun
kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan
bahwa hadits hasan sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya
tidak sama, bahkan ada sebagian ulama yang memasukkan hadits hasan
kedalam kelompok hadits shahih baik hasan li dzatihi maupun hasan
li ghairihi.
Maka
dari itu, para ahli hukum banyak beramal menggunakan dasar dari hadits hasan,
sekalipun mereka tetap berpegang pada persyaratan keafsahan hasan li
ghairihi sebagai hujjah, yaitu:
a. Meminimalisir
kekurangan-kekurangan yang ada.
b. Hadits
tersebut tertutup oleh banyaknya periwayatan hadits lain, baik redaksinya sama
atau hampir sama.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam menanggapi masalah apakah hadits
shahih itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum
secara umum maka dalam hal ini para muhaddisin, sebagian ahli ushul dan
ahli fiqh bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih dapat dijadikan
hujjah dan wajib diamalkan.
Adapun
kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan
bahwa hadits hasan sama dengan hadits shahih sekalipun
tingkatannya tidak sama, bahkan ada sebagian ulama yang memasukkan hadits hasan
kedalam kelompok hadits shahih baik hasan li dzatihi maupun hasan
li ghairihi.
Jika dalam
satu hadis telah hilang satu syarat saja dari sekian syara-syarat hadits hasan,
maka hadits tersebut dinyatakan sebagai hadits dha’if. Apalagi yang
hilang itu sambai dua atau tiga syarat maka inilah yang dikatakan sebagai hadis
dha’if dan status semua hadis dha’if adalah mardud
(tertolak) dan tidak bias dijadikan hujjah.
B.
Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun
dalam penyajiannya kami selaku manusia biasa menyadari adanya beberapa
kesalahan oleh karena itu kami mnegharapkan kritik maupun saran khususnya dari
Dosen Pembimbing Bapak Jamal Abd. Nasir, Lc, M. Th.I yang bersifat membantu dan
membangun agar kami tidak melakukan kesalahan yang sama dalam penyusunan
makalah yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis. Yogyakarta: Teras,
2010.
Dr. Moh. Anwar Bc. Hk. Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas, 1981.
Mohammad Nor Ichwan, M.Ag. Studi
Ilmu Hadis. Semarang: RaSAIL, 2007.
[1]
Dr. M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010),
hlm. 243.
[2]
Joni, “Hadits ditinjau dari segi kualitasnya:
pengertian,syarat, dan macam-macam hadits shahih, hasan, dan dha’if”, http://jonirpm.blogspot.co.id/2015/11/makalah-hadits-ditinjau-dari-segi.html,
pada tanggal 29 agustus 2016 pukul 19:57.
[3]
Dr. M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010),
hlm. 244.
[4]
Dr. M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010),
hlm. 244.
[5]
Ibid., hlm. 245.
[6]
Drs. Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits (Surabaya: AL-IKHLAS, 1981),
hlm. 34-35.
[7] Dr.
M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010),
hlm. 249-250.
[8]
Mohammad Nor Ichwan, M.Ag, Studi Ilmu Hadis (Semarang : RaSAIL, 2007),
hlm.
[9]
Dr. M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010),
hlm. 260-261.
[10]
Harianto Ishak, “Hadits Hasan”, http://filsafatlombok.blogspot.co.id/2013/12/hadits-hasan.html, pada tanggal 30 agustus 2016 pukul 21:36.
[11]
Dr. M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010),
hlm. 262.
[12]
Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki (2006). Ilmu
Ushul Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar ISBN
979-24-5855-7
[13]
Drs. Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits (Surabaya: AL-IKHLAS, 1981),
hlm. 61-64.
[14]
Joni, “Hadits ditinjau dari segi kualitasnya: pengertian,syarat, dan
macam-macam hadits shahih, hasan, dan dha’if”, http://jonirpm.blogspot.co.id/2015/11/makalah-hadits-ditinjau-dari-segi.html, pada tanggal 29 agustus 2016 pukul 19:57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar