KEUTAMAAN SHOLAT SUNNAH
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia yang
diampu oleh Ibu Masyithah Maghfirah Rizam, SS, M.PD
Oleh :
SYIFANAJUWA
NIM.201607010-----
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
makalah ini penulis membahas tentang keutamaan sholat sunnah, yakni sholat yang
mendapat pahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika tidak dikerjakan.
Penulis mengetahui bahwa sholat sunnah dapat menambah kekurangan yang mungkin
terdapat pada sholat fardhu. Dalam hal ini penulis sebagai orang muslim juga
ingin meningkatkan amalan ibadah dan ketakwaan kepada sang Pencipta tanpa
melihat itu dianjurkan atau tidak. Sebagaimana yang telah penulis ketahui,
sholat sunnah banyak sekali diantaranya seperti sholat dhuha, tahajjud,
istisqa’, dan banyaak lagi.
Rasulullah
saw pernah mengatakan dalam sebuah hadits “....bantulah aku dalam memenuhi
permintaanmu itu dengan cara engkau perbanyak sujud”. Perbanyak sujud adalah
dengan cara melakukan atau mengerjakan shalat-shalat sunnah. Sebab sujud tidak
akan banyak kecuali dengan memperbanyak shalat, bnyak daan sedikit shalat
berkaitan dengan shalat sunnah.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian shalat sunnah ?
2.
Apa saja macam-macam shalat sunnah ?
3.
Apakah keutamaan shalat sunnah ?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan pengertian shalat sunnah
2.
Menjelaskan macam-macam shalat sunnah
3.
Menjelaskan keutamaan dari shalat sunnah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Shalat Sunnah
Shalat
ada dua macam yaitu fardhu dan sunnah. Shalat fardhu juga dibagi dua yaitu
fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Hukum fardhu ain adalah wajib bagi setiap
muslim yang mukallaf (dewasa), baik laki-laki maupun perempuan. Itulh shalat
lima waktu. Sedangkan hukum fardhu kifayah adalah wajib dikerjakan namun
apabila sudah dilakukan oleh muslim yang lain maka kewajiban ini gugur. Itulah
menshalati jenazah muslim.[2]
Shalat
ath-tathawwu’ yaitu shalat sunnah. Tathawwu’ ialah perbuaatan baaik yang
dilakukaan seseorang haamba atas inisiatif sendiri yang tidak diwajibkan oleh
syariat dimana jika dikerjakan mendapat pahala dan jika tidak dikerjakan tidak
akan berdosa.[3]
B.
Macam-Macam Shalat Sunnah
Seperti
yang telah diketahui bahwa ada banyak macam shalat sunnah. Namun penulis hanya
akan membahas beberapa macam saja diantaranya :
1.
Shalat Sunnah Muakkad
Shalat
sunnah muakkad merupakan shalat yang dianjurkan secara tegas atau shalaat
sunnah yang dikerjakan secaara berjemaah.[4]
a.
Shalat Idul Fitri dan Idul Adha
Shalat ‘Iedain yaitu iedul fitri dan iedul adha. Kata al-‘ied
menurut orang arab adalah pertemuann musiman untuk bergembira ria. Kata al-‘ied
berasal dari kata ‘aud (dikasrahkan huruf pertama dan disukunkan huruf kedua.
Huruf و diubah menjadi ي karena berbaris sukun dan huruf sebelumnya berbaris kasrah)
jamaknya ‘ayaad dngan huruf ي untuk
membedakan antara kata ini dengan kata ‘awaad khasyab (tonhgkat kayu). Iedul
fitri disyariatkan pada tahun kedua hijriyah.
Adapun shalat iedul adha, ada yang mengatakan disyariatkan
pada tahun kedua. Disyaritkan oleh At-Tarmidzi dan Ahmad dari Ibnu Umar Ra
berkata “Rasulullah saw pernah tinggal di Madinah Selama 10 tahun melaksanakan
qurban”. Ini berarti bahwa iedul adha disyariatkan sejak tahun pertama
hijriyah.[5]
1)
Hukum Melaksanakan Shalat ‘Id
Hukum melaksanakan shalat hari raya adalah fardhu kifayah.
Nabi dan para khalifah setelahnya selalu melaksanakannya. Ia adalah sunnah
mu’akkad (sangat dianjurkan) kepada semua muslim laki-laki dan perempuan.
Firman Allah SWT :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS: Al-Kautsar(108):2)
2)
Syarat-Syarat Shalat ‘Id
Syarat shalat hari raya sama dengan syarat shalat JUmat,
kecuali dua khutbah dalam shalat hari raya, hanya sunnah semaata dan dilakukan
sesudah shalat.
3)
Waktu Pelaksanaan
Yakni semenjak matahari meninggi di waktu pagi seukuran satu
panah hingga tergelincirnya matahri. Jika tidak diketahui shalat hari raya
kecuali setelah tergelincirnya matahari, maka dilaksanakan keesokan harinya
dengan meng-qadha’nya.
4)
Tata Cara Shalat ‘Id
Shalat hari raya terdiri dari dua rakaat sebagaimana
perkataan Umar Bin Khattab Ra :
صَلاَةُ الْفِطْرِوَالأَضْحَى رَكْعَتَانِ , رَكْعَتَانِ, تَمَامٌ
غَيْرَ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَى
“Shalat hari raya fithrah dan hari raya kurban adalah dua rakaat,
dua rakaat, dengan sempurna bukan qashar sesuai dengan perintah Nabi kalian.
Sungguh tercela orang yang berdusta” (HR: Ahmad)
5)
Hikmah Disyariatkan Shalat ‘Id
Shalat ‘id merupakan
identitas agama yang paling nyata. Ia juga merupakan kekhususan umat Muhammad
saw untuk merealisasikan syukur kepada Allah SWT atas pelaksanaan puasa
Ramadhan dan berhaji ke Baitullah. Dan juga ajakan untuk berkasih sayang kepada
sesame muslim, berkumpul, dan penyucian jiwa.[6]
b.
Shalat Istisqa’
Istisqa’ adalah
memohon kepada Allah agar diturunkan hujan disaat musim kemarau. Kata As-Siqaayah
dan As-Saqyu artinya air bumi dan air hujan, karena biasa dipakai untuk minum
dan memberi hujan.
1)
Hikmah Disyariatkan Shalat Istisqa’
Allah menciptakan dan
menjadikan fithrah-Nya untuk menghadap Allah dank kepada-nya ketika mengharap
sesuatu yang sangat dibutuhkan atau diliputi kecemasan. Shalat istisqa’
merupakan salah satu bentuk fenomena fithrah tersebut. Seorang muslim menghadap
Tuhannya untuk meminta hujan ketika ia sangat membutuhkannya.
2)
Hukum Melaksanakan Shalat Istisqa’
Shalat Istisqa’
adalah sunnah yang sangat dianjurkan. Rasulullah saw pernah melakukannya dan
mengumumkan kepada para sahabat, dan mereka keluar untuk melaksanakan di
lapangan.
3)
Waktu Pelaksanaan
Adapun waktu, sifat,
dan hukum-hukumnya sama seperti shalat ‘Id.
4)
Pelaksanaannya
Dianjurkan agar imam
mengumumkan pelaksanaan shalat istisqa’ beberapa hari sebelum waktunya, menyeru
manusia agar bertaubat kepda Allah dari segala bentuk kesalahan yang telah
dilakukan karena hal itu yang menyebabkan kekeringan. [7]
c.
Shalat Gerhana
Kusuf ialah berubah
menjadi hitam. Dikatakan asy-syamsu jika matahari berubah menjadi hitam dan
cahayanya meredup. Khusuf juga mempunyai makna yang sama. Para pakar bahasa
berkata, “Bahasa yang paling fasih adalah kusuf untuk gerhana matahari dan
khusuf untuk gerhana bulan” Walaupun kedua kata dilakukan untuk kedua gerhana.[8]
1)
Waktu Pelaksanaan
Shalat gerhana
dimulai sejak dimulainya gerhana hingga ia berakhir. Ia tidak bisa diganti
apabila gerhana telah selesai. Tidak ada perintah untuk melaksanakan shalat
gerhana setelah selesai, karena waktunya telah berakhir.
2)
Hukum Pelaksanaaan
وَمِنْ
أَيَتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لاَتَسْجُدُوْا للشّمْسِ
وَلاَ للِقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلّهِ الَّذِيْ خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ
تَعْبُدُونَ
“Dan sebagian dari tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud
kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan. Tetapi, bersujudlah kepada
Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah” (QS. Fushshilat : 37)
Apabila terjadi
gerhana matahari atau bulan, maka disunnahkan melaksanakan shalat gerhana
secara berjemaah seperti yang telah dijelaskan dalam firman Allah SWT diatas.
3)
Tata Cara Pelaksanaan
Shalat gerhana
dilakukan sebanyak dua rakaat. Pada rakaat pertama membaca surat Al-Fatihah dan
surat lainnya yang panjang, kemjudian ruku’ yang lama. Setelah itu melakukan I’tidal
dan kembali membaca surat Al-Fatihah dan surat lainnya yang panjang. Kemudian
ruku’ I’tidal dan sujud dua kali yang lama. Kemudian bangun untuk ruku’ kedua
sama dengan rakaat pertama namun lebih pendek dalam segala halnya. Inilah cara
yang paling tsabit (kuat). Jika dilakukan dengan tiga kali rukuk, atau empat,
atau lima maka hal itu diperbolehkan jika memang diperlukan.
4)
Hikmah Disyariatkan Shalat
Gerhana terjadi
ketika tertutupnya cahaya matahari atau bulan. Ia termasuk salah satu
tanda-tanda kebesaran Allah SWT untuk mengajak manusia agar bersiap-siap
(menghadap kematian dan hari kiamat). Agar selalu merasa diawasi oleh Allah SWT
dan kembali kepada-Nya ketika terjadi pergantian situasi. Ia juga mengajak
untuk tafakkur (memikirkan) atas keagungan Allah SWT dan ketetapan-Nya terhadap
semesta ini.[9]
2.
Shalat Sunnah Ghairu Muakkad
Shalat sunnah ini merupakan shalat yang dianjurkan secara tidak
tegas atau shalat sunnah yang dikerjakan secara munfarid (sendiri-sendiri).[10]
a.
Shalat Dhuha
Dhuha berarti waktu naiknya
matahari di siang hari, sehingga shalat pada saat itu dinamakan shalat Dhuha.
Shalat ini disyariatkan dan dianjurkan, mengingat manfaat dan keutamaannya yang
sangat besar, seperti yang telah dijelaskan pada hadits Nabi berikut yang
artinya : “Setiap ruas persendian salah seorang kalian menunaikan sedekah
setiap jelang pagi. Tiap ucapan tasbih dan tahlil adalah sedekah. Satu kali
ucapan takbir adalah sedekah. Memerintahkan salah satu kebaikan adalah sedekah.
Mencegah satu kemungkaran adalah sedekah. Cukuplah bagi semua orang dari semua
itu (jika ia menjalankan) dua rakaat shalat yang ditunaikan pada waktu Dhuha”.
1)
Waktu Pelaksaan Shalat
Shalat dhuha ini
dimulai dari naiknya matahari sekitar satu atau dua tombak sampai
tergelincirnya matahari. Shalat ini dianjurkan sebagian hari bukan setiap hari.
2)
Jumlah Rakaat Shalat
Shalat Dhuha
dilakukan paling kurang sebanya dua rakaat. Rasulullah saw pernah melakukannya
empat atau enam rakaat, dan paling banyak delapan rakaat. Tidak diisyaratlkan
untuk melakukannya terus menerus.
b.
Shalat Istikharah
Barangsiapa memiliki
keinginan atas suatu perkara sedangkan
ia tidak mengetahui sisi kebenarannya secara pasti, maka ia diisyaratkan
melakukan shalat dua rakaat dan berdoa
sebagaimana doa yang diajarkan Rasulullah saw. Namun, hendaknya sebelum ia
melaksanakan shalat tersebut hendaknya ia berkonsultasi dan meminta petunjuk
kepada ahli ilmu. Sebagaimana firman Allah SWT :
وَشّاوِرْهُمْ فِيْ الْأَمْرِ
“Dan bermusyawarhlah dengan merka dalam
urusan itu”. (QS.Ali Imran:
159)
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
“Sedang urusan mereka (diputuskan dengan
musyawarah antara mereka)”. (QS.
Asu-Syura: 38)[11]
C.
Keutamaan Shalat Sunnah
Diantara nikmat Allah SWT kepada hamba-Nya adalah
disiapkannya untuk mereka berbagai ibadah yang sesuai dengan tabiatnya sebagai
manusia. Mereka juga mendapatkan apa yang diinginkannya lewat pelaksaan amal
dengan cara yang benar. Karena manusia memiliki potensi untuk salah dan tidak
sempurna, maka Allah SWT mensyariatkan sesuatu yang bisa menyempurnakan
kekurangannya. Diantaranya adalah shalat shunnah. Telah tsabit (tetap) dari
Rasulullah saw bahwasannya shalat sunnah bisa menyempurnakan shalat wajib jika
orang yang shalat tersebut tidak bisa melakukan shalatnya dengan sempurna.
Serta shalat sunnah juga memberikan keutamaan agar semakin dekat dan mematuhi
perintah Allah dan bersyukur dalam segala hal serta mengingat bahwasannya di
dunia ini berada hanya sementara dan dunia ini sebagi tempat ujian serta tempat
untuk menabung bekal untuk akhirat kelak.[12]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Shalat
sunnah atau thathawu’ ialah perbuatan baik yang dilakukan sorang hamba atas
inisiatif sendiri yang tidak diwajibkan oleh syariat dimana jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika
tidak juga tidak akan berdosa.
Seperti
yang telah kita ketahui ada beberapa macam shalat sunnah diantaranya shalat
‘Id, shalat istisqa’, shalat gerhana, shalat dhuha daan shalat istikharah. Dari
sekian yang da shalat sunnah memiliki perbedaan dari segi tata cara, waktu
pelaksanaan, hukum pelaksanaan.
Sebagaimanaa yang telah dibahas shalat sunnah memiliki
banyak kegunaaan daan keutamaan untuk mengerjakannya. Salah satunya yaitu
shalat sunnah dapat menyempurnakan shalat wajib jika orang yang mengerjakannya
tidak sempurna. Diantara hikmah yang lainnya adalah agar kita bisa mendekatkan
diri kepada Allah, mengingat kematian, dan sebagai bentuk rasa syukur atas
nikmat yang telah Allah berikan.
B.
Saran
Setelah kita mengetahui pengertian shalat sunnah dan
keutamaan shalat sunah seperti yang penulis paparkan di depan, dari hal itu
penulisberharap semoga kita dapat melaksanakan shalat sunnah dengan mengetahui
keutamaannya. Semoga amal ibadah kita diterima disisi-Nya
[1] Imam Ibnu Hajar al’Asqolaany, Kitab As Shalat (Saudi Arabia:Darul
Furqon,1430), hlm. 152.
[2] Shalih Bin Ghanim As-Sadlan dan Syaikh Muhammad Shalih
Al-Munajjid, Intisari Fiqih Islam (Surabaya:Pustaka eLBA,2007), hlm. 50.
[3] Al’Asqolaany, Kitab As Shalat,hlm.151.
[4] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih
Ibadah (Jakarta:Amzah,2009), hlm. 228.
[6] Shalih Bin Ghanim As-Sadlan dan Syaikh Muhammad
Shalih Al-Munajjid, Intisari Fiqih Islam (Surabaya:Pustaka eLBA,2007), hlm.
74.
[7] Ibid. 77.
[8] Imam Ibnu Hajar al’Asqolaany, Kitab As Shalat (Saudi Arabia:Darul
Furqon,1430), hlm. 241.
[9] Shalih dan Al Munajjid, Intisari Fiqih, hlm. 78.
[10] Ibid. 80.
[11] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih
Ibadah (Jakarta:Amzah,2009), hlm. 332.
[12] Shalih dan Al Munajjid, Intisari Fiqih, hlm. 52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar