Jumat, 29 November 2019

HUBUNGAN ANTARA AGAMA, FILSAFAT, DAN KEINDAHAN


Hubungan-antara-agama-filsafat-dan-keindahan
Hubungan Anatar Agama, Filsafat, dan Keindahan

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmah, taufiq serta hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Hubungan Antara Agama, Filsafat, dan Keindahan” yang merupakan salah satu tugas pertama dari mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar / Ilmu Sosial Dasar / Ilmu Budaya Dasar. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen yang telah membimbing serta memberi arahan kepada kami dalam menyusun dan menyelesaikan makalah ini. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung kami.
            Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan menambah pemahaman serta wawasan kita tentang  Hubungan Antara Agama, Filsafat, dan Keindahan”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada semua pembaca dan pakar dimohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
            Kepada semua pihak yang telah memberikan saran dan kritik demi sempurnanya makalah ini, kami ucapkan terimakasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
                        Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin



Pamekasan, 29 Agustus 2016


                                                                                                  Penyusun      




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A.    Latar Belakang................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................ 1
C.     Tujuan Penulisan.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 2
A.    Keindahan........................................................................................ 2
a)      Apakah Keindahan Itu?....................................................... 3
b)      Nilai Estetik.......................................................................... 6
c)      Mengapa Manusia Menciptakan Keindahan?...................... 7
B.     Renungan......................................................................................... 8
C.     Keserasian........................................................................................ 9
D.    Kehalusan......................................................................................... 13
BAB III PENUTUP......................................................................................... 15
A.    Kesimpulan...................................................................................... 15
B.     Saran................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 17






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu Budaya Dasar adalah pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Salah satu hal penting yang berkaitan dengan kebudayaan adalah adanya suatu keindahan.
Keindahan, renungan, keserasian, dan kehalusan setiap hari dialami oleh manusia. Keindahan bisa didapatkan dari melihat alam secara langsung, melalui radio, televisi, film, dan berbagai media lainnya. Untuk mendapatkan dan menikmati suatu keindahan, orang sering membuang waktu, uang, dan tenaga yang tidak sedikit jumlahnya. Orang pergi ketempat-tempat yang indah, seperti gunung, pantai, danau, air terjun, taman bunga, atau tempat-tempat lain yang mempunyai keindahan karena mereka menyukai keindahan itu. Ada suatu kecenderungan, semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, semakin tinggi pula hasrat dan keinginan untuk menghargai keindahan.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka kami tertarik untuk membahas masalah hubungan agama, filsafat, dan keindahan. Mudah-mudahan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman kita tentang hubungan agama, filsafat, dan keindahan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan keindahan ?
2.      Apa yang dimaksud dengan renungan ?
3.      Apa yang dimaksud dengan keserasian ?
4.      Apa yang dimaksud dengan kehalusan ?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk memenuhi tugas dari dosen.
2.      Untuk menjelaskan tentang keindahan, renungan, keserasian, dan kehalusan.
3.      Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang keindahan, renungan, keserasian, dan kehalusan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Keindahan
Keindahan berasal dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek, dan sebagainya. Benda yang mempunya sifat indah ialah segala hasil seni, (walaupun tidak semua hasil seni indah), pemandangan alam (pantai, pegunungan, danau, bunga-bunga dilereng gunung), manusia (wajah, mata, bibir, hidung, rambut, kaki, tubuh), rumah (halama, tatanan perabot rumah tangga, dan sebagainya), suara, warna, dan sebagainya. Kawasan keindahan bagi manusia sangat luas, seluas keanekaragaman manusia dan sesuai pula dengan perkembangan peradaban teknologi, sosial, dan budaya. Karena itu dapat dikatakan bahwa keindahan merupakan bagian hidup manusia. Keindahan tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dimana pun, kapan pun, dan siapa saja dapat menikmati keindahan.[1]
Keindahan adalah identik dengan kebenaran. Keindahan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah keindahan. Keduanya mempunyai nilai yang sma yaitu abadi, dan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah, yang tidak mengandung kebenaran berarti tak indah. Karena itu tiruan lukisan Monalisa tidak indah, karena dasarnya tidak benar.
Keindahan juga bersifat universal, artinya keindahan yang tidak terikat oleh selera perorangan, waktu dan tempat, selera, atau daerah tertentu. Jadi, keindahan itu bersifat menyeluruh.[2]
Konsep keindahan adalah abstrak dan tidak dapat berkomunikasi sebelum diberi bentuk. Oleh karena itu, banyak pemikir yang tidak puas terhadap pendapat yang menyatakan bahwa keindahan itu hasil meniru dari alam.[3]
Sekarang masalahnya ialah apakah keindahan itu? Apakah nilai estetik itu? Apakah yang mendorong manusia menciptakan keindahan? Bagaiman proses terjadinya keindahan? Hasil seni yang bagaimanakah yang tergolong memenuhi syarat keindahan itu?
a)      Apakah keindahan itu?
Bicara tentang keindahan mau tidak mau kita harus menengok jauh kebelakang yaitu ke jaman Yunani Kuno,abad ke-18. Pada saat itu pengertian keindahan telah dipelajari oleh para filsuf. Menurut The Liang Gie dalam bukunya “Garis Besar Estetik” (Filsafat Keindahan) dalam bahasa Inggris keindahan itu diterjemahkan dengan kata “beautiful”, Perancis “beau”, Italia dan Spanyol “bello”, kata-kata itu berasal dari bahasa Latin “bellum”. Akar katanya adalah “bonum” yang berarti kebaikan, kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi “bonellum” dan terakhir dipendekkan sehingga ditulis “bellum”.
Menurut cakupannya, orang harus membedakan antara keindahan sebagai suatu kualitas abstrak dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah. Untuk membedakan ini dalam bahasa Inggris sering digunakan istilah “beauty” (keindahan) dan “the beautiful” (benda atau hal yang indah). Dalam pembahasan filsafat, kedua pengertian itu kadang-kadang dicampuradukkan.[4]
Selain itu menurut luasnya dibedakan pengertian :
1)      Keindahan dalam arti luas
Dalam arti luas, keindahan mengandung ide kebaikan, watak, hukum, pikiran berpendapat, dan sebagainya. Dengan kata lain keindahan dalam arti luas meliputi keindahan seni, alam, moral, dan intelektual.[5]
Selanjunya The Liang Gie menjelaskan bahwa keindahan dalam arti luas mengandung pengertian ide kebaikan. Misalnya Plato menyebut watak yang indah dan hukum yang indah, sedangkan Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang baik dan juga menyenangkan.
Plotinus mengatakan tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Orang Yunani berbicara pula mengenai buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Tetapi bangsa Yunani juga mengenal pengertian keindahan dalam arti estitik disebutnya “symmetria” untuk keindahan berdasarkan penglihatan (misalnya pada seni pahat dan arsitektur) dan “harmonia” untuk keindahaan berdasarkan pendengaran (musik).
Jadi, pengertian yang seluas-luasnya meliputi :
Ø  Keindahan seni.
Ø  Keindahan alam.
Ø  Keindahan moral.
Ø  Keindahan intelektual.
2)      Keindahan dalam arti estetik murni
Keindahan dalam arti estetik murni menyangkut pengalaman estetik seorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya.
3)      Keindahan dalam arti yang terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan.
Keindahan dalam arti yang terbatas mempunyai arti yang lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang dapat diserap dengan penglihatan, yaitu berupa keindahan bentuk dan warna.
Dari pembagian dan pembedaan terhadap keindahan tersebut diatas masih belum jelas apakah sesungguhnya keindahan itu. Ini memang persoalan filsafat yang jawabannya beraneka  ragam. Salah satu jawaban ialah mencari ciri-ciri umum yang ada pada semua benda atau kualita hakiki atau dengan pengertian keindahan. Jadi, keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualita pokok tertentu yang terdapat pada suatu hal. Kualita yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keseimbangan (balance), dan kebalikan (contrast).
Dari ciri-ciri itu dapat diambil kesimpulan, bahwa keindahan tersusun dari berbagai keselarasan dan kebalikan dari garis, warna, bentuk, nada, dan kata-kata. Ada pula yang berpendapat bahwa keindahan adalah suatu kumpulan hubungan-hubungan yang selaras dalam suatu benda dan diantara benda itu dengan si pengamat.
Filsuf seni dewasa ini merumuskan keindahan sebagai kesatuan hubunga yang terdapat anatara penerapan-penerapan indrawi kita (beauty is unity of formal realitions of our sense perceptions).
Sebagian filsuf lain menghubungkan pengertian keindahan dengan ide kesenangan (pleasure), yang merupakan sesuatu yang menyenangkan terhadap penglihatan atau pendengaran. Filsuf abad pertengahan Thomas Aquinos (1225-1274) mengatakan, bahwa keindahan adalah sesuatu yang menyenangkan bila dilihat (“id qoud visum placet”).[6]
Manusia menikmati keindahan berarti ia mempunyai pengalaman keindahan. Pengalaman keindahan biasanya bersifat terlihat (visual) atau terdengar (auditory) walaupun tidak terbatas pada dua bidang tersebut. Pengalaman keindahan mencangkup penyerapan perhatian yang menyenangkan dalam pengalaman perseptual sejauh ia timbul dari pandangan yang sepi dari pamrih terhadap sesuatu fenomena. Emosi estetis dapat dibangkitkan melalui pemandangan alam yang memang benar-benar memmpunyai keindahan alami, dan dapat pula dibangkitkan melalui benda-benda yang berseni tinggi, misalnya hasil kesenian seniman. Namun demikian, keindahan itu pada dasarnya adalah alamiah. Alam itu ciptaan Tuhan. Alamiah itu adalah wajar, tidak berlebihan, dan tidak pula kurang. Orang menciptakan keindahan itu pada dasarnya mencontoh keindahan yang dianugerahkan Tuhan kepada umatnya. Namun demikian, orang yang mencontoh keindahan alam, belum tentu menghasilkan keindahan.
Konsep keindahan adalah abstrak. Ia identik dengan kebenaran. Batas keindahan akan berhenti pada sesuatu yang indah, dan bukan pada ‘keindahan sendiri’. Keindahan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah, sedangkan yang tidak ada unsur keindahannya tidak mempunyai daya tarik.  Daya tariknya tidak pernah ada dan tidak akan bertambah. Sifat yang indah adalah universal, tidak terkait dengan selera seseorang, waktu, dan tempat. Hal ini terjadi sebab pada hakikatnya setiap orang, dimana pun, kapan pun, mempunyai sikap yang sama dalam menghadapi sesuatu yang indah, yaitu sikap simpati dan sikap empati.[7]
Ternyata untuk menjawab “apakah keindahan itu?” banyak sekali jawabannya. Karena itu dalam estetika modern orang lebih suka berbicara tentang seni dan pengalaman estetika karena ini bukan pengalaman abstrak melainkan gejala konkrit yang dapat ditelaah dengan pengamatan secara empirik dan penguraian dan sistematik.[8]
Orang yang mempunyai konsep keindahan terbatas jumlahnya. Orang yang mempunyai konsep keindahan biasanya mampu melakukan imajinasi, kerana imajinasi merupakan titik pusat konsep keindahan. Orang yang mampu melakukan imajinasi adalah orang yang rajin dan kreatif dalam menghubungkan benda satu dengan lainnya. Dengan demikian, hal yang berpengaruh terhadap keindahan adalah imajinasi. Dengan kata lain, imajinasi merupakan proses menghubungkan suatu benda dengan benda lain sebagai objek imajinasi.[9]

b)     Nilai Estetik
The Liang Gie menjelaskan teori umum tentang nilai bahwa, “Keindahan dianggap sebagai salah satu jenis nilai seperti halnya nilai moral, nilai ekonomi, nilai pendidikan, dan sebagainya. Nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetik”.
Masalah sekarang ialah apakah nilai estetik itu? Dalam bidang filsafat, istilah nilai seringkalidipakai suatu benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness).
Dalam  Dictionary of Sosiology and Relate Science diberikan rumusan tentang nilai sebagai berikut :
The believed Capasity of any object to satisfy a human desire, The quality of any object which cause it be interest to an individual or a group (Kemampuan yang dianggap ada dalam suatu benda yang dapat memuaskan keinginan manusia, sifat dari suatu benda yang menarik minat seseorang atau suatu kelompok).
Hal itu berarti bahwa nilai adalah realita psikologi yang harus dibedakan secara tegas kegunaannya, karena terdapat dalam jiwa manusia dan bukan pada bendanya. Nilai itu dianggap terdapat dalam suatu benda sampai terbukti letak kebenarannya.
Tentang nilai ada yang membedakan antara nilai subjektif dan objektif atau ada yang membedakan nilai perseorangan dan nilai kemasyarakatan. Tetapi penggolongan yang penting ialah nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik adalah sifat baik dari suatu benda sebagai alat atau sarana suatu hal lainnya (instrumental / contributory value), yakni nilai yang bersifat sebagai alat atau membantu. Nilai intrinsik adalah sifat baik dari benda yang bersangkutan atau sebagai suatu tujuan, ataupun demi kepentingan benda itu sendiri.
Contoh :
1.      Puisi, bentuk puisi yang terdiri dari bahasa, diksi, baris, sajak, irama, disebut nilai ekstrinsik. Sedangkan pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca melalui (alat benda) puisi itu disebut nilai intrinsik.
2.      Tari, tarian damar wulan – minak jinggo suatu tarian yang halus dan kasar dengan segala jenis pakaian dan gerak-geriknya adalah tari perang antara Damar Wulan dan Minak Jinggo merupakan nilai ekstrinsik. Sedangkan pesan yang disampaikan oleh tarian itu yaitu kebaikan melawan kejahatan merupakan nilai intrinsik.[10]

c)      Mengapa Manusia Menciptakan Keindahan?
Kendahan itu pada dasarnya alamiah, sedangkan alam adalah ciptaan Tuhan. Ini berarti bahwa keindahan adalah ciptaan Tuhan. Alamiah memiliki arti wajar, tidak berlebihan dan tidak pula kurang. Kalau wanita dalam lukisan lebih cantik daripada keadaan sebenarnya, justru tidak indah. Bila ada pemain drama yang berlebih-lebihan, misalnya marah dengan meluap-luap padahal kesalahan kecil, atau karena kehilangan sesuatu yang tak berharga kemudian menangis meraung-raung, itu berarti tidak alamiah.[11]

Kesimpulan
Keindahan berasal dari kata indah berarti bagus, permai, cantik, molek, dan sebagainya. Benda yang mengandung keindahan ialah segala hasil seni dan alam semesta ciptaan Tuhan. Sangat luas kawasan keindahan bagi manusia. Karena itu kapan, dimana, dan siapa saja dapat menikmati keindahan.
Keindahan identik dengan kebenaran. Keduanya mempunyai nilai yang sama ; abadi dan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah. Yang tidak mengandung kebenaran berarti tidak indah. Keindahan bersifat universal.
Sejak abad ke-18 pun pengertian keindahan ini telah digumuli oleh para filsuf. Keindahan dapat dibedakan sebagai suatu kualitas abstrak dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah. Menurut luasnya keindahan dibedakan atas tiga pengertian, yakni keindahan dalam arti luas, dalam arti estetik murni, dan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan. Keindahan dalam arti luas mengandung ide kebaikan, watak, hukum, pikiran, pendapat, dan sebagainya. Keindahan dalam arti estetik disebutnya “symetria”, jadi pengertian keindahan yang seluas-luasnya meliputi keindahan seni, alam, moral, dan intelektual.
Keindahan dalam arti estetik murni mencakup pengalaman estetik seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya. Keindahan dalam arti terbatas berupa keindahan bentuk dan warna.
Ciri-ciri keindahan menyangkut kualitas hakiki dari segala benda yang mengandung kesatuan (unity), keseimbangan (balance), keselarasan (harmoni), kesetangkupan (symetry), dan pertentangan (contrast). Dari ciri-ciri itu dapat diambil kesimpulan, bahwa keindahan tersusun dari keselarasan dan pertentangan dari garis, warna, bentuk, nada, dan kata-kata.
Definisi keindahan sangat luas, karena itu dalam estetika modern orang lebih suka berbicara tentang seni dan estetika, karena hal itu merupakan gejala kongkrit yang dapat ditelaah denngan pengalaman secara empirik dan penguraian sistematik.
Nilai-nilai estetik : Nilai berarti kebenaran (worth) atau kebaikan (goodness). Nilai estetik sesuatu adalah semata-mata realita psikologik yang harus dibedakan secara tegas dari kegunaan, karena terdapat pada jiwa manusia dan bukan pada bendannya itu sendiri.
Nilai ini ada yang membedakan antara nilai subyektif dan nilai obyektif. Ada lagi nilai perseorangan dengan nilai kemasyarakatan. Penggolongan yang lebih penting ialah nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik dipandang dari bendanya, sdangkan nilai intrinsik dari isinya.[12]

B.     Renungan
Renungan berasal dari kata renung. Merenung berarti berdiam diri memikirkan sesuatu, atau memikirkan sesuatu secara mendalam. Merenung dalam rangka memperbaiki diri dari tingkah laku yang kurang indah merupakan suatu bentuk koreksi diri. Koreksi diri berfungsi sebagai proses mengubah tingkah laku yang kurang terpuji menuju tingkah laku yang terpuji, dan sebagainya.
Merenung juga bisa berarti mengevaluasi diri dari berbagai kesalahan, kealpaan, dan dosa yang pernah dibuat. Dengan merenung diharapkan mampu mengakui berbagai kesalahan, kealpaan dan dosa, baik itu terhadap orang lain maupun terhadap Tuhan. Dengan demikian, setelah seseorang merenung akan mampu mengurangi atau bahkan meninggalkan sama sekali perbuatan yang kurang baik itu.[13]
Setiap kegiatan untuk merenung atau mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah dimiliki disebut berfilsafat. Akan tetapi, tidak semua orang mampu berfikir kefilsafatan. Pemikiran kefilsafatan mendasarkan diri kepada penalaran, yaitu proses berfikir yang logis dan analitis. Berfikir merupakan kegiatan untuk menyusun pengetahuan yang benar. Berpikir logis menunjukkan pola berpikir secara luas. Kegiatan berpikir dapat disebut logis ditinjau dari suatu logika tertentu. Dengan demikian, kemungkinan suatu pemikiran akan menjadi tidak logis bila ditinjau dari sudut logika yang lain.
Penalara merupakan suatu kegiatan berpikir yang juga menyandarkan diri pada suatu analisis. Analisis merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu sehingga pengetahuan yang diperoleh disebut pengetahuan tidak langsung. Pemikiran ilmiah (keilmuan) dan pemikiran kefilsafatan mendasarkan diri pada logika analitis. Hanya saja pemikiran kefilsafatan mempunyai karakteristik sendiri yang berbeda dengan karakter keilmuan.
Pemikiran kefilsafatan mempunyai 3 macam ciri, yaitu :
1.      Menyeluruh, artinya pemikiran yang luas, bukan hanya ditinjau dari sudut pandang tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan antara antara ilmu yang satu dan ilmu-ilmu lain, hubungan dengan moral seni, dan tujuan hidup.
2.      Mendasar, artinya pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental (keluar dari gejala) sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap bidang keilmuan.
3.      Spekulatif, artinya hasil pemikiran yang dapat dijadikan dasar pemikiran selanjutnya. Hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk menjelajahi wilayah pengetahuan yang baru.
Cabang filsafat yang paling umum, mendasar dan kritik spekulatif, adalah metafisika.
Renungan atau pemikiran yang dibahas dalam modul ini berhubungan dengan keindahan. Setiap hasil seni lahir dari hasil renungan. Tanpa direnungkan hasil seni tidak akan mencapai keindahan.
Renungan yang berhubungan dengan keindahan atau penciptaan keindahan didasarkan atas tiga macam teori, yaitu teori pengungkapan, teori metafisika, dan teori psikologis. Setiap teori itu memiliki tokoh. Dalam teori pengungkapan Benedetto Croce, mengatakan bahwa seni adalah pengungkapan kesan-kesan.
Dalam teori metafisik, Plato mendalilkan adanya dunia ide pada taraf yang tertinggi. Sebagai realita Ilahi, karya seni yang dibuat manusia hanyalah merupakan nimenis (tiruan) dari bawah sadar seorang seniman. Adapun karya seninya merupakan bentuk berselubung yang diwujudkan dari keinginan-keinginan itu.
Teori permainan, yang masih tergolong teori psikologik, dipelopori Friedrick Schiller dan Herbert Spencer. Schiller menyatakan bahwa asal mula seni adalah dorongan batin untuk bermain-main (play impulse).[14]
Dalam proses jiwa seniman pada waktu merenung dalam rangka menciptakan seni, menurut Keats selalu meliputi rasa ragu-ragu, takut, ketidaktentuan, misterius (negative capability). Justru seniman yang tidak memiliki kemampuan negatif tidak mampu menciptakan keindahan. Kemampuan negatif ini identik dengan proses mencari. Mencari yang dimaksud ialah mencari keindahan, karena yang bersangkutan merasa belum puas atas keindahan yang telah diciptakan. Pengertian yang dekat dengan kemampuan ialah intensitas. Kekurangan-kekurangan intensitas ini erat hubungannya dengan ketidakberesan imajinasi yang berarti seniman tersebut tidak akan dapat menciptakan keindahan.
Selain daripada itu Keats menyatakan, bahwa untuk mengatasi ketakutan ialah berkuasanya hal-hal yang sesaat. Baginya hal-hal sesaat itu merupakan pelatuk yang meledakkan imajinasi, dan imajinasi ini yang membentuk konsep keindahan.
Selanjutnya, konsep keindahan adalah abstrak. Konsep itu baru dapat berkomunikasi setelah diberi bentuk. Seperti halnya Gesang, setelah ia bermaiin di Bengawan Solo ia merenung, ia menemukan konsep keindahan. Tetapi konsep keindahan belum berkomunikasi, barulah berkomunikasi setelah diberi bentuk, yaitu lagu “Bengawan Solo” yang terkenal itu.[15]

C.    Keserasian
Keserasian berasal dari kata serasi, dengan kata dasarnya adalah  rasi yang artinya cocok, sesuai, atau kena benar. Kata cocok mengandung pengertian perpaduan, ukuran, dan seimbang. Perpaduan misalnya orang berpakaian antara kulit dan warnanya yang dipakai cocok. Sebaliknya, orang hitam memakai warna hijau, tentu makin hitam. Warna hijau pantas dipakai orang berkulit kuning. Atau ke pasar mempergunakan pakaian pesta, atau sebaliknya berpesta mempergunakan pakaian santai, dan lain-lain. Hal seperti ini tentu tidak serasi atau kurang cocok, kurang kena. Dan tentu akan dikatakan oleh setiap orang “sayang” atau kata-kata lain yang menunjukkan kekecewaan. Oleh karena yang memandang itu merasa kecewa dengan adanya hal yang kurang serasi.
Dalam memadu rumah dan halaman, rumah yang bagus dengan halaman yang luas dan tersusun rapi dengan bunga-bunga yang indah, orang akan memuji keserasian itu. Tetapi sebaliknya, rumah yang bagus yang tidak mempunyai halaman tentu orang akan mengatakan “sayang”. Jadi, dalam hal memadu rumah dan halaman itu ada unsur ukuran-ukuran yang seimbang.
Dalam berpakaian sangat diutamakan keserasian warna dan bentuk serta potongan tubuh. Atau dapat juga kita kagum atas kecantikan wanita atau kecakapan pria pada waktu duduk. Setiap orang melihat terheran-heran melihat wajahnya. Hampir semua mata memandang kearah wanita atau pria yang dikagumi semua yang hadir itu. Tetapi setelah berdiri, semua orang mengeluh “sayang”, karena tinggi seseorang itu tidak sesuai dengan harapan kita, ternyata terlalu pendek, hal seperti itu juga menyatakan ukuran.
Lagu merupakan pertentang suaru tinggi-rendah, panjang-pendek, keras-lembut yang terpadu begitu rupa, sehingga telinga kita dibuat asyik mendengarkan dan hati kita merasa puas. Tetapi apabila terjadi sekoyong-koyong suara yang seharusnya menurut rasa kita menanjak justru kebalikannya, kita tentu akan kecewa. Dalam hal lagu, irama yang indah itu merupakan pertentangan yang serasi.
Karena itu, dalam keindahan itu, sebagian besar ahli pikir menjelaskan, bahwa keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualita/pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu hal. Kualita yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symetry), keseimbangan (balance), dan pertentangan (contrast). Selanjutnya dalam hal keindahan itu dikatakan tersusun dari berbagai keselarasan dan pertentangan dari garis, warna, bentuk, dan kata-kata. Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa keindahan adalah suatu kumpulan hubungan yang selaras dalam suatu benda dan diantara benda itu dengan si pengamat.[16]
Keserasian identik dengan keindahan. Sesuatu yang serasi tentu tampak indah. Oleh karena itu, sebagian ahli pikir berpendapat bahwa keindahan adalah sejumlah kualita pokok tertentu yang terdapat pada suatu hal. Kualita yang paling sering disebut kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symetry), keseimbangan (balance), dan perlawanan atau pertentangan (contrast).
Pendapat lain mengatakan bahwa pengalaman estetik merupakan suatu keselarasan dinamik dan perenungan yang menyenangkan. Dalam keselarasan itu seseorang memiliki perasaan tenang dan mempunyai cita rasa yang baik dan merasa hidupnya berada ditengah-tengah kesempurnaan yang menyenangkan hati dan ingin memperpanjangnya.
Dalam mencipta seni, ada dua teori, yakni teori objektif dan teori subjektif. Teori subjektif menyatakan bahwa keindahan adalah terciptanya nilai-nilai estetik yang merupakan kualitas yang melekat pada benda itu.
Dalam perimbangan sebagai cabang dalam teori objektif, dinyatakan bahwa keindahan merupakan suatu kualita dari benda. Contohnya ialah bangunan arsitektur Yunani Kuno yang bagian atap bersusun dan ditopang tiang-tiang besar dengan ukuran seimbang, sehingga tampak harmonis dan serasi. Atap yang tersusun itu, tercipta dari hubungan bagian yang berimbang berdasarkan perbandingan angka-angka.[17]
Madzhab Pythagoras yang menciptakan teori proporsi itu mengemukakan bahwa nada-nada yang dikeluarkan oleh seutas senar tergantung dari panjang-pendeknya senar.
Dalam seni ada 6 asas. Asas-asas itu ialah kesatuan total, tema, tema variasi, keseimbangan, perkembangan, dan tata-jenjang.
Matematika mempunyai peranan penting dalam seni, terutama dalam cabang seni bangunan, seni lukis, dan seni musik.
Keserasian tidak ada hubungannya dengan kemewahan. Sebab keserasian merupakan perpaduan antara warna, bentuk, dan ukuran. Atau keserasian merupakan merupakan pertentangan antara nada-nada tinggi rendah, keras-lembut, dan panjang-pendek. Kadang-kadang kemewahan menunjang keserasian, tetapi tidak selalu.[18]

D.    Kehalusan
Kehalusan berasal dari kata halus, artinya tidak kasar (perbuatan) lembut, sopan, baik (budi bahasa), beradab. Kehalusan berarti sifat-sifat yang halus, kesopanan, dan atau keadaban.
Halus bagi manusia itu sendiri ialah berupa sikap, yakni sikap halus. Sikap halus adalah sikap lembut dalam menghadapi orang. Lembut dalam mengucapkan kata-kata, lembut dalam roman muka, lembut dalam sikap anggota badan lainnya.
Halus itu berarti suatu sikap manusia dalam pergaulan, baik dalam masyarakat kecil maupun dalam masyarakat luas. Sudah tentu sebagai lawannya adalah sikap kasar atau sikap orang-orang yang sedang emosi, bersikap sombong, bersikap kaku, sikap orang yang sedang bermusuhan.
Sikap halus atau lembut merupakan gambaran hati yang tulus serta cinta kasih terhadap sesama. Sebab itu orang yang bersikap halus atau lembut biasanya suka memperhatikan kepentingan orang lain, dan suka menolong orang lain. Sikap lembut merupakan perwujudan pula dari sifat-sifat ramah, sopan, sederhana dalam pergaulan.[19]
Sikap halus juga dimiliki orang yang rendah hati, yaitu orang yang halus tutur katanya, sopan tingkah lakunya, tidak sok, tidak membedakan pangkat dan derajat dalam pergaulan.
Sikap halus kepada orang lain, harus dimulai dari keluarga. Ketika didalam keluarga, sudah terbiasa dengan suasana damai, bahagia, dan dijumpai kelembutan, niscaya akan mampu diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana dikodratkan, manusia adalah makhuk yang bermoral. Ia akan selalu berusaha berbuat baik dan selalu menginginkan kebaikan. Kebaikan, kesopanan, kehalusan, dan kelembutan dalam pergaulan merupakan suatu hal yang selalu didambakan.[20]
Bagian rohaniah yang melahirkan sikap ialah kemauan,perasaan, dan pemikiran atau karsa, rasa dan cipta. Tiga unsur rohaniah ini saling berkaitan, saling mempengaruhi, dalam mewujudkan tingkah laku, tutur bahasa, perbuatan, sehingga dapat dinilai kehalusan atau kekasaranya. Cipta, rasa, dan karsa itu membuat orang bergerak, karena itu ketiganya disebut trias dinamika.
Prinsip hidup kekeluargaan harus didasarkan kepada cinta kasih, keadilan, kejujuran, kesetiaan, ketertiban, kedisiplinan. Pergaulan yang didasarkan pada prinsip itu tentu akan melahirkan kehalusan dalam pergaulan. Sekurang-kurangnya ketenteraman dan kesejahteraan.
Karya seni adalah hasil ciptaan manusia yang mempunyai nilai-nilai tertentu. Nilai itu antara lain nilai inderawi, nilai bentuk, nilai pengetahuan. Nilai-nilai itu terwujud dalam bentuk lahir yang dapat dinikmati oleh indera kita (mata,telinga) sehingga memuaskan hati kita.
Hasil seni sangat berpengaruh terhadap jiwa dan perbuatan manusia. Banyak orang menangis karena seni (seni drama, film, seni suara), namun banyak juga orang yang melenggang-lenggang karena irama musik. Banyak orang merasa tenteram, damai, dan bahagia mendengarkan lagu-lagu yang tenang menghanyutkan.[21]
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Keindahan sebagai bagian dari kehidupan manusia memiliki kawasan yang sangat luas, seluas keanekaragaman  manusia  dan sesuai pula dengan perkembangan peradaban teknologi, sosial, dan budaya.
Keindahan adalah identik dengan kebenaran. Keindahan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah keindahan. Keduanya mempunyai nilai yang sma yaitu abadi, dan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah, yang tidak mengandung kebenaran berarti tak indah. Keindahan tersusun dari berbagai keselarasan dan kebalikan dari garis, warna, bentuk, nada, dan kata-kata.
Merenung berarti berdiam diri memikirkan sesuatu, atau memikirkan sesuatu secara mendalam. Merenung dalam rangka memperbaiki diri dari tingkah laku yang kurang indah merupakan suatu bentuk koreksi diri. Koreksi diri berfungsi sebagai proses mengubah tingkah laku yang kurang terpuji menuju tingkah laku yang terpuji, dan sebagainya. Merenung juga bisa berarti mengevaluasi diri dari berbagai kesalahan, kealpaan, dan dosa yang pernah dibuat.
Keserasian identik dengan keindahan. Sesuatu yang serasi tentu tampak indah. Keserasian tidak ada hubungannya dengan kemewahan. Sebab keserasian merupakan perpaduan antara warna, bentuk, dan ukuran. Atau keserasian merupakan merupakan pertentangan antara nada-nada tinggi rendah, keras-lembut, dan panjang-pendek. Kadang-kadang kemewahan menunjang keserasian, tetapi tidak selalu.
Sikap halus atau lembut merupakan gambaran hati yang tulus serta cinta kasih terhadap sesama. Sebab itu orang yang bersikap halus atau lembut biasanya suka memperhatikan kepentingan orang lain, dan suka menolong orang lain. Sikap lembut merupakan perwujudan pula dari sifat-sifat ramah, sopan, sederhana dalam pergaulan.



B.     Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiannya kami selaku manusia biasa menyadari adanya beberapa kesalahan oleh karena itu kami mnegharapkan kritik maupun saran khususnya dari Dosen Pembimbing Ibu Halimatus Sa’diyah, M.Pd.I  yang bersifat membantu dan membangun agar kami tidak melakukan kesalahan yang sama dalam penyusunan makalah yang akan datang.



DAFTAR PUSTAKA

Mawardi dan Nur Hidayati, 2009, IAD/ISD/IBD, Bandung: Pusaka Setia
Mustofa, Ahmad, 1999, Imu Budaya Dasar, Bandung: PUSTAKA SETIA
Sukidin, dkk, 2003, Pengantar Ilmu Budaya, Surabaya: Insan Cendekia
Soelaeman, M. Munandar, 2001, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: Refika Aditama
Widagdho, Djoko, dkk, 2004, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara




[1] Drs. Mawardi dan Ir. Nur Hidayati, IAD/ISD/IBD (Bandung: Pusaka Setia, 2009), hlm. 157.
[2] Drs. Djoko Widagdho, dkk, Ilmu Budaya Dasar (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 60.
[3] Drs. M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar (Bandung: Refika Aditama, 2001), hlm. 85.
[4] Drs. Mawardi dan Ir. Nur Hidayati, op.cit. hlm. 158.
[5] Drs. Sukidin, M.Pd, dkk, Pengantar Ilmu Budaya (Surabaya: Insan Cendekia, 2003), hlm. 48.
[6] Drs. Djoko Widagdho, dkk, op.cit. hlm. 62-63.
[7] Drs. Sukidin, M.Pd, dkk, op.cit. hlm. 48-49.
[8] Drs. Mawardi dan Ir. Nur Hidayati, op.cit. hlm. 159.
[9] Drs. Sukidin, M.Pd, dkk, op.cit. hlm. 49-50.
[10] Drs. H. Ahmad Mustofa, Ilmu Budaya Dasar (Bandung: PUSTAKA SETIA, 1999), hlm. 67-68.
[11] Drs. Mawardi dan Ir. Nur Hidayati, op.cit. hlm. 160-161.
[12] Drs. Djoko Widagdho, dkk, op.cit. hlm. 65-66.
[13] Drs. Sukidin, M.Pd, dkk, op.cit. hlm. 54.
[14] Drs. Mawardi dan Ir. Nur Hidayati, op.cit. hlm. 162-163.
[15] Drs. Djoko Widagdho, dkk, op.cit. hlm. 72-73.
[16] Ibid., hlm. 73-74.
[17] Drs. Mawardi dan Ir. Nur Hidayati, op.cit. hlm. 165.
[18] Drs. Djoko Widagdho, dkk, op.cit. hlm. 75.
[19] Ibid., hlm. 75-76.
[20] Drs. Sukidin, M.Pd, dkk, op.cit. hlm. 52.
[21] Drs. Mawardi dan Ir. Nur Hidayati, op.cit. hlm. 166.