Hubungan Anatar Agama, Filsafat, dan Keindahan |
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kepada kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmah, taufiq serta
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Hubungan Antara Agama, Filsafat, dan Keindahan” yang merupakan salah satu
tugas pertama dari mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar / Ilmu Sosial Dasar / Ilmu
Budaya Dasar. Shalawat dan salam semoga tetap
dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
dosen yang telah membimbing serta memberi arahan kepada kami dalam menyusun dan
menyelesaikan makalah ini. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dan mendukung kami.
Kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan menambah pemahaman
serta wawasan kita tentang “Hubungan Antara Agama, Filsafat, dan Keindahan”.
Kami menyadari
bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu,
kepada semua pembaca dan pakar dimohon saran dan kritik yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.
Kepada
semua pihak yang telah memberikan saran dan kritik demi sempurnanya makalah
ini, kami ucapkan terimakasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Aamiin
ya Rabbal ‘Alamiin
Pamekasan, 29 Agustus 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A.
Latar
Belakang................................................................................. 1
B.
Rumusan
Masalah............................................................................ 1
C.
Tujuan
Penulisan.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 2
A.
Keindahan........................................................................................ 2
a)
Apakah
Keindahan Itu?....................................................... 3
b)
Nilai
Estetik.......................................................................... 6
c)
Mengapa
Manusia Menciptakan Keindahan?...................... 7
B.
Renungan......................................................................................... 8
C.
Keserasian........................................................................................ 9
D.
Kehalusan......................................................................................... 13
BAB III PENUTUP......................................................................................... 15
A.
Kesimpulan...................................................................................... 15
B.
Saran................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 17
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu
Budaya Dasar adalah pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan
dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk
mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Salah satu hal penting yang
berkaitan dengan kebudayaan adalah adanya suatu keindahan.
Keindahan,
renungan, keserasian, dan kehalusan setiap hari dialami oleh manusia. Keindahan
bisa didapatkan dari melihat alam secara langsung, melalui radio, televisi,
film, dan berbagai media lainnya. Untuk mendapatkan dan menikmati suatu
keindahan, orang sering membuang waktu, uang, dan tenaga yang tidak sedikit
jumlahnya. Orang pergi ketempat-tempat yang indah, seperti gunung, pantai,
danau, air terjun, taman bunga, atau tempat-tempat lain yang mempunyai
keindahan karena mereka menyukai keindahan itu. Ada suatu kecenderungan,
semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, semakin tinggi pula hasrat dan
keinginan untuk menghargai keindahan.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka kami tertarik untuk
membahas masalah hubungan agama, filsafat, dan keindahan. Mudah-mudahan dapat
menambah pengetahuan dan pemahaman kita tentang hubungan agama, filsafat, dan
keindahan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan keindahan ?
2.
Apa
yang dimaksud dengan renungan ?
3.
Apa
yang dimaksud dengan keserasian ?
4.
Apa
yang dimaksud dengan kehalusan ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
memenuhi tugas dari dosen.
2.
Untuk
menjelaskan tentang keindahan, renungan, keserasian, dan kehalusan.
3.
Untuk
menambah wawasan dan pengetahuan tentang keindahan, renungan, keserasian, dan
kehalusan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Keindahan
Keindahan berasal dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik,
elok, molek, dan sebagainya. Benda yang mempunya sifat indah ialah segala hasil
seni, (walaupun tidak semua hasil seni indah), pemandangan alam (pantai,
pegunungan, danau, bunga-bunga dilereng gunung), manusia (wajah, mata, bibir,
hidung, rambut, kaki, tubuh), rumah (halama, tatanan perabot rumah tangga, dan
sebagainya), suara, warna, dan sebagainya. Kawasan keindahan bagi manusia
sangat luas, seluas keanekaragaman manusia dan sesuai pula dengan perkembangan
peradaban teknologi, sosial, dan budaya. Karena itu dapat dikatakan bahwa
keindahan merupakan bagian hidup manusia. Keindahan tak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Dimana pun, kapan pun, dan siapa saja dapat menikmati
keindahan.[1]
Keindahan adalah identik dengan kebenaran. Keindahan adalah
kebenaran, dan kebenaran adalah keindahan. Keduanya mempunyai nilai yang sma
yaitu abadi, dan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah, yang tidak
mengandung kebenaran berarti tak indah. Karena itu tiruan lukisan Monalisa
tidak indah, karena dasarnya tidak benar.
Keindahan juga bersifat universal, artinya keindahan yang tidak
terikat oleh selera perorangan, waktu dan tempat, selera, atau daerah tertentu.
Jadi, keindahan itu bersifat menyeluruh.[2]
Konsep keindahan adalah abstrak dan tidak dapat berkomunikasi
sebelum diberi bentuk. Oleh karena itu, banyak pemikir yang tidak puas terhadap
pendapat yang menyatakan bahwa keindahan itu hasil meniru dari alam.[3]
Sekarang masalahnya ialah apakah keindahan itu? Apakah nilai
estetik itu? Apakah yang mendorong manusia menciptakan keindahan? Bagaiman
proses terjadinya keindahan? Hasil seni yang bagaimanakah yang tergolong
memenuhi syarat keindahan itu?
a)
Apakah keindahan itu?
Bicara tentang keindahan mau tidak mau kita harus menengok jauh
kebelakang yaitu ke jaman Yunani Kuno,abad ke-18. Pada saat itu pengertian
keindahan telah dipelajari oleh para filsuf. Menurut The Liang Gie dalam
bukunya “Garis Besar Estetik” (Filsafat Keindahan) dalam bahasa Inggris
keindahan itu diterjemahkan dengan kata “beautiful”, Perancis “beau”, Italia
dan Spanyol “bello”, kata-kata itu berasal dari bahasa Latin “bellum”. Akar
katanya adalah “bonum” yang berarti kebaikan, kemudian mempunyai bentuk
pengecilan menjadi “bonellum” dan terakhir dipendekkan sehingga ditulis
“bellum”.
Menurut cakupannya, orang harus membedakan antara keindahan sebagai
suatu kualitas abstrak dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah. Untuk
membedakan ini dalam bahasa Inggris sering digunakan istilah “beauty” (keindahan)
dan “the beautiful” (benda atau hal yang indah). Dalam pembahasan filsafat,
kedua pengertian itu kadang-kadang dicampuradukkan.[4]
Selain itu menurut luasnya dibedakan pengertian :
1)
Keindahan
dalam arti luas
Dalam
arti luas, keindahan mengandung ide kebaikan, watak, hukum, pikiran
berpendapat, dan sebagainya. Dengan kata lain keindahan dalam arti luas
meliputi keindahan seni, alam, moral, dan intelektual.[5]
Selanjunya
The Liang Gie menjelaskan bahwa keindahan dalam arti luas mengandung pengertian
ide kebaikan. Misalnya Plato menyebut watak yang indah dan hukum yang indah,
sedangkan Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang baik dan juga
menyenangkan.
Plotinus
mengatakan tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Orang Yunani
berbicara pula mengenai buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah.
Tetapi bangsa Yunani juga mengenal pengertian keindahan dalam arti estitik
disebutnya “symmetria” untuk keindahan berdasarkan penglihatan (misalnya pada
seni pahat dan arsitektur) dan “harmonia” untuk keindahaan berdasarkan
pendengaran (musik).
Jadi,
pengertian yang seluas-luasnya meliputi :
Ø Keindahan seni.
Ø Keindahan alam.
Ø Keindahan moral.
Ø Keindahan intelektual.
2)
Keindahan
dalam arti estetik murni
Keindahan
dalam arti estetik murni menyangkut pengalaman estetik seorang dalam
hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya.
3)
Keindahan
dalam arti yang terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan.
Keindahan
dalam arti yang terbatas mempunyai arti yang lebih disempitkan sehingga hanya
menyangkut benda-benda yang dapat diserap dengan penglihatan, yaitu berupa
keindahan bentuk dan warna.
Dari pembagian dan pembedaan terhadap keindahan tersebut diatas
masih belum jelas apakah sesungguhnya keindahan itu. Ini memang persoalan
filsafat yang jawabannya beraneka ragam.
Salah satu jawaban ialah mencari ciri-ciri umum yang ada pada semua benda atau
kualita hakiki atau dengan pengertian keindahan. Jadi, keindahan pada dasarnya
adalah sejumlah kualita pokok tertentu yang terdapat pada suatu hal. Kualita
yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keseimbangan (balance), dan
kebalikan (contrast).
Dari ciri-ciri itu dapat diambil kesimpulan, bahwa keindahan
tersusun dari berbagai keselarasan dan kebalikan dari garis, warna, bentuk,
nada, dan kata-kata. Ada pula yang berpendapat bahwa keindahan adalah suatu
kumpulan hubungan-hubungan yang selaras dalam suatu benda dan diantara benda
itu dengan si pengamat.
Filsuf seni dewasa ini merumuskan keindahan sebagai kesatuan
hubunga yang terdapat anatara penerapan-penerapan indrawi kita (beauty is unity
of formal realitions of our sense perceptions).
Sebagian filsuf lain menghubungkan pengertian keindahan dengan ide
kesenangan (pleasure), yang merupakan sesuatu yang menyenangkan terhadap
penglihatan atau pendengaran. Filsuf abad pertengahan Thomas Aquinos
(1225-1274) mengatakan, bahwa keindahan adalah sesuatu yang menyenangkan bila
dilihat (“id qoud visum placet”).[6]
Manusia menikmati keindahan berarti ia mempunyai pengalaman
keindahan. Pengalaman keindahan biasanya bersifat terlihat (visual) atau
terdengar (auditory) walaupun tidak terbatas pada dua bidang tersebut.
Pengalaman keindahan mencangkup penyerapan perhatian yang menyenangkan dalam
pengalaman perseptual sejauh ia timbul dari pandangan yang sepi dari pamrih terhadap
sesuatu fenomena. Emosi estetis dapat dibangkitkan melalui pemandangan alam
yang memang benar-benar memmpunyai keindahan alami, dan dapat pula dibangkitkan
melalui benda-benda yang berseni tinggi, misalnya hasil kesenian seniman. Namun
demikian, keindahan itu pada dasarnya adalah alamiah. Alam itu ciptaan Tuhan.
Alamiah itu adalah wajar, tidak berlebihan, dan tidak pula kurang. Orang
menciptakan keindahan itu pada dasarnya mencontoh keindahan yang dianugerahkan
Tuhan kepada umatnya. Namun demikian, orang yang mencontoh keindahan alam,
belum tentu menghasilkan keindahan.
Konsep keindahan adalah abstrak. Ia identik dengan kebenaran. Batas
keindahan akan berhenti pada sesuatu yang indah, dan bukan pada ‘keindahan
sendiri’. Keindahan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah, sedangkan yang
tidak ada unsur keindahannya tidak mempunyai daya tarik. Daya tariknya tidak pernah ada dan tidak akan
bertambah. Sifat yang indah adalah universal, tidak terkait dengan selera
seseorang, waktu, dan tempat. Hal ini terjadi sebab pada hakikatnya setiap
orang, dimana pun, kapan pun, mempunyai sikap yang sama dalam menghadapi
sesuatu yang indah, yaitu sikap simpati dan sikap empati.[7]
Ternyata untuk menjawab “apakah keindahan itu?” banyak sekali
jawabannya. Karena itu dalam estetika modern orang lebih suka berbicara tentang
seni dan pengalaman estetika karena ini bukan pengalaman abstrak melainkan
gejala konkrit yang dapat ditelaah dengan pengamatan secara empirik dan
penguraian dan sistematik.[8]
Orang yang mempunyai konsep keindahan terbatas jumlahnya. Orang
yang mempunyai konsep keindahan biasanya mampu melakukan imajinasi, kerana
imajinasi merupakan titik pusat konsep keindahan. Orang yang mampu melakukan
imajinasi adalah orang yang rajin dan kreatif dalam menghubungkan benda satu
dengan lainnya. Dengan demikian, hal yang berpengaruh terhadap keindahan adalah
imajinasi. Dengan kata lain, imajinasi merupakan proses menghubungkan suatu
benda dengan benda lain sebagai objek imajinasi.[9]
b)
Nilai Estetik
The Liang Gie menjelaskan teori umum tentang nilai bahwa,
“Keindahan dianggap sebagai salah satu jenis nilai seperti halnya nilai moral,
nilai ekonomi, nilai pendidikan, dan sebagainya. Nilai yang berhubungan dengan
segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetik”.
Masalah sekarang ialah apakah nilai estetik itu? Dalam bidang
filsafat, istilah nilai seringkalidipakai suatu benda abstrak yang berarti
keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness).
Dalam Dictionary of
Sosiology and Relate Science diberikan rumusan tentang nilai sebagai
berikut :
The believed Capasity of any object to satisfy a human desire, The
quality of any object which cause it be interest to an individual or a group (Kemampuan yang dianggap ada dalam suatu benda yang dapat memuaskan
keinginan manusia, sifat dari suatu benda yang menarik minat seseorang atau
suatu kelompok).
Hal itu berarti bahwa nilai adalah realita psikologi yang harus
dibedakan secara tegas kegunaannya, karena terdapat dalam jiwa manusia dan
bukan pada bendanya. Nilai itu dianggap terdapat dalam suatu benda sampai
terbukti letak kebenarannya.
Tentang nilai ada yang membedakan antara nilai subjektif dan
objektif atau ada yang membedakan nilai perseorangan dan nilai kemasyarakatan.
Tetapi penggolongan yang penting ialah nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik.
Nilai ekstrinsik adalah sifat baik dari suatu benda sebagai alat atau sarana
suatu hal lainnya (instrumental / contributory value), yakni nilai yang
bersifat sebagai alat atau membantu. Nilai intrinsik adalah sifat baik dari
benda yang bersangkutan atau sebagai suatu tujuan, ataupun demi kepentingan
benda itu sendiri.
Contoh
:
1.
Puisi,
bentuk puisi yang terdiri dari bahasa, diksi, baris, sajak, irama, disebut
nilai ekstrinsik. Sedangkan pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca melalui
(alat benda) puisi itu disebut nilai intrinsik.
2.
Tari,
tarian damar wulan – minak jinggo suatu tarian yang halus dan kasar dengan
segala jenis pakaian dan gerak-geriknya adalah tari perang antara Damar Wulan
dan Minak Jinggo merupakan nilai ekstrinsik. Sedangkan pesan yang disampaikan
oleh tarian itu yaitu kebaikan melawan kejahatan merupakan nilai intrinsik.[10]
c)
Mengapa Manusia Menciptakan Keindahan?
Kendahan itu pada dasarnya alamiah, sedangkan alam adalah ciptaan
Tuhan. Ini berarti bahwa keindahan adalah ciptaan Tuhan. Alamiah memiliki arti
wajar, tidak berlebihan dan tidak pula kurang. Kalau wanita dalam lukisan lebih
cantik daripada keadaan sebenarnya, justru tidak indah. Bila ada pemain drama
yang berlebih-lebihan, misalnya marah dengan meluap-luap padahal kesalahan
kecil, atau karena kehilangan sesuatu yang tak berharga kemudian menangis
meraung-raung, itu berarti tidak alamiah.[11]
Kesimpulan
Keindahan berasal dari kata indah berarti bagus, permai, cantik,
molek, dan sebagainya. Benda yang mengandung keindahan ialah segala hasil seni
dan alam semesta ciptaan Tuhan. Sangat luas kawasan keindahan bagi manusia.
Karena itu kapan, dimana, dan siapa saja dapat menikmati keindahan.
Keindahan identik dengan kebenaran. Keduanya mempunyai nilai yang
sama ; abadi dan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah. Yang tidak
mengandung kebenaran berarti tidak indah. Keindahan bersifat universal.
Sejak abad ke-18 pun pengertian keindahan ini telah digumuli oleh
para filsuf. Keindahan dapat dibedakan sebagai suatu kualitas abstrak dan
sebagai sebuah benda tertentu yang indah. Menurut luasnya keindahan dibedakan
atas tiga pengertian, yakni keindahan dalam arti luas, dalam arti estetik
murni, dan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan. Keindahan
dalam arti luas mengandung ide kebaikan, watak, hukum, pikiran, pendapat, dan
sebagainya. Keindahan dalam arti estetik disebutnya “symetria”, jadi pengertian
keindahan yang seluas-luasnya meliputi keindahan seni, alam, moral, dan intelektual.
Keindahan dalam arti estetik murni mencakup pengalaman estetik
seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya. Keindahan
dalam arti terbatas berupa keindahan bentuk dan warna.
Ciri-ciri keindahan menyangkut kualitas hakiki dari segala benda
yang mengandung kesatuan (unity), keseimbangan (balance), keselarasan
(harmoni), kesetangkupan (symetry), dan pertentangan (contrast). Dari ciri-ciri
itu dapat diambil kesimpulan, bahwa keindahan tersusun dari keselarasan dan
pertentangan dari garis, warna, bentuk, nada, dan kata-kata.
Definisi keindahan sangat luas, karena itu dalam estetika modern
orang lebih suka berbicara tentang seni dan estetika, karena hal itu merupakan
gejala kongkrit yang dapat ditelaah denngan pengalaman secara empirik dan
penguraian sistematik.
Nilai-nilai estetik : Nilai berarti kebenaran (worth) atau kebaikan
(goodness). Nilai estetik sesuatu adalah semata-mata realita psikologik yang
harus dibedakan secara tegas dari kegunaan, karena terdapat pada jiwa manusia dan
bukan pada bendannya itu sendiri.
Nilai ini ada yang membedakan antara nilai subyektif dan nilai
obyektif. Ada lagi nilai perseorangan dengan nilai kemasyarakatan. Penggolongan
yang lebih penting ialah nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik
dipandang dari bendanya, sdangkan nilai intrinsik dari isinya.[12]
B.
Renungan
Renungan berasal dari kata renung. Merenung berarti berdiam diri
memikirkan sesuatu, atau memikirkan sesuatu secara mendalam. Merenung dalam
rangka memperbaiki diri dari tingkah laku yang kurang indah merupakan suatu
bentuk koreksi diri. Koreksi diri berfungsi sebagai proses mengubah tingkah
laku yang kurang terpuji menuju tingkah laku yang terpuji, dan sebagainya.
Merenung juga bisa berarti mengevaluasi diri dari berbagai
kesalahan, kealpaan, dan dosa yang pernah dibuat. Dengan merenung diharapkan
mampu mengakui berbagai kesalahan, kealpaan dan dosa, baik itu terhadap orang
lain maupun terhadap Tuhan. Dengan demikian, setelah seseorang merenung akan
mampu mengurangi atau bahkan meninggalkan sama sekali perbuatan yang kurang
baik itu.[13]
Setiap kegiatan untuk merenung atau mengevaluasi segenap
pengetahuan yang telah dimiliki disebut berfilsafat. Akan tetapi, tidak semua
orang mampu berfikir kefilsafatan. Pemikiran kefilsafatan mendasarkan diri
kepada penalaran, yaitu proses berfikir yang logis dan analitis. Berfikir merupakan
kegiatan untuk menyusun pengetahuan yang benar. Berpikir logis menunjukkan pola
berpikir secara luas. Kegiatan berpikir dapat disebut logis ditinjau dari suatu
logika tertentu. Dengan demikian, kemungkinan suatu pemikiran akan menjadi
tidak logis bila ditinjau dari sudut logika yang lain.
Penalara merupakan suatu kegiatan berpikir yang juga menyandarkan
diri pada suatu analisis. Analisis merupakan suatu kegiatan berpikir
berdasarkan langkah-langkah tertentu sehingga pengetahuan yang diperoleh
disebut pengetahuan tidak langsung. Pemikiran ilmiah (keilmuan) dan pemikiran
kefilsafatan mendasarkan diri pada logika analitis. Hanya saja pemikiran
kefilsafatan mempunyai karakteristik sendiri yang berbeda dengan karakter
keilmuan.
Pemikiran kefilsafatan mempunyai 3 macam ciri, yaitu :
1.
Menyeluruh, artinya pemikiran yang luas, bukan hanya ditinjau dari sudut
pandang tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan antara
antara ilmu yang satu dan ilmu-ilmu lain, hubungan dengan moral seni, dan
tujuan hidup.
2.
Mendasar,
artinya pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental
(keluar dari gejala) sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap
bidang keilmuan.
3.
Spekulatif,
artinya hasil pemikiran yang dapat dijadikan dasar pemikiran
selanjutnya. Hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk
menjelajahi wilayah pengetahuan yang baru.
Cabang filsafat yang paling umum, mendasar dan kritik spekulatif,
adalah metafisika.
Renungan atau pemikiran yang dibahas dalam modul ini berhubungan
dengan keindahan. Setiap hasil seni lahir dari hasil renungan. Tanpa
direnungkan hasil seni tidak akan mencapai keindahan.
Renungan yang berhubungan dengan keindahan atau penciptaan
keindahan didasarkan atas tiga macam teori, yaitu teori pengungkapan, teori
metafisika, dan teori psikologis. Setiap teori itu memiliki tokoh. Dalam teori
pengungkapan Benedetto Croce, mengatakan bahwa seni adalah pengungkapan
kesan-kesan.
Dalam teori metafisik, Plato mendalilkan adanya dunia ide
pada taraf yang tertinggi. Sebagai realita Ilahi, karya seni yang dibuat
manusia hanyalah merupakan nimenis (tiruan) dari bawah sadar seorang
seniman. Adapun karya seninya merupakan bentuk berselubung yang diwujudkan dari
keinginan-keinginan itu.
Teori permainan, yang masih tergolong teori psikologik,
dipelopori Friedrick Schiller dan Herbert Spencer. Schiller menyatakan bahwa
asal mula seni adalah dorongan batin untuk bermain-main (play impulse).[14]
Dalam proses jiwa seniman pada waktu merenung dalam rangka
menciptakan seni, menurut Keats selalu meliputi rasa ragu-ragu, takut,
ketidaktentuan, misterius (negative capability). Justru seniman yang tidak
memiliki kemampuan negatif tidak mampu menciptakan keindahan. Kemampuan negatif
ini identik dengan proses mencari. Mencari yang dimaksud ialah mencari
keindahan, karena yang bersangkutan merasa belum puas atas keindahan yang telah
diciptakan. Pengertian yang dekat dengan kemampuan ialah intensitas.
Kekurangan-kekurangan intensitas ini erat hubungannya dengan ketidakberesan
imajinasi yang berarti seniman tersebut tidak akan dapat menciptakan keindahan.
Selain daripada itu Keats menyatakan, bahwa untuk mengatasi
ketakutan ialah berkuasanya hal-hal yang sesaat. Baginya hal-hal sesaat itu
merupakan pelatuk yang meledakkan imajinasi, dan imajinasi ini yang membentuk
konsep keindahan.
Selanjutnya, konsep keindahan adalah abstrak. Konsep itu baru dapat
berkomunikasi setelah diberi bentuk. Seperti halnya Gesang, setelah ia bermaiin
di Bengawan Solo ia merenung, ia menemukan konsep keindahan. Tetapi konsep
keindahan belum berkomunikasi, barulah berkomunikasi setelah diberi bentuk,
yaitu lagu “Bengawan Solo” yang terkenal itu.[15]
C.
Keserasian
Keserasian berasal dari
kata serasi, dengan kata dasarnya adalah
rasi yang artinya cocok, sesuai, atau kena benar.
Kata cocok mengandung pengertian perpaduan, ukuran, dan seimbang.
Perpaduan misalnya orang berpakaian antara kulit dan warnanya yang dipakai
cocok. Sebaliknya, orang hitam memakai warna hijau, tentu makin hitam. Warna
hijau pantas dipakai orang berkulit kuning. Atau ke pasar mempergunakan pakaian
pesta, atau sebaliknya berpesta mempergunakan pakaian santai, dan lain-lain.
Hal seperti ini tentu tidak serasi atau kurang cocok, kurang kena. Dan tentu
akan dikatakan oleh setiap orang “sayang” atau kata-kata lain yang menunjukkan
kekecewaan. Oleh karena yang memandang itu merasa kecewa dengan adanya hal yang
kurang serasi.
Dalam memadu rumah dan halaman, rumah yang bagus dengan halaman
yang luas dan tersusun rapi dengan bunga-bunga yang indah, orang akan memuji
keserasian itu. Tetapi sebaliknya, rumah yang bagus yang tidak mempunyai
halaman tentu orang akan mengatakan “sayang”. Jadi, dalam hal memadu rumah dan
halaman itu ada unsur ukuran-ukuran yang seimbang.
Dalam berpakaian sangat diutamakan keserasian warna dan bentuk serta
potongan tubuh. Atau dapat juga kita kagum atas kecantikan wanita atau
kecakapan pria pada waktu duduk. Setiap orang melihat terheran-heran melihat
wajahnya. Hampir semua mata memandang kearah wanita atau pria yang dikagumi
semua yang hadir itu. Tetapi setelah berdiri, semua orang mengeluh “sayang”,
karena tinggi seseorang itu tidak sesuai dengan harapan kita, ternyata terlalu
pendek, hal seperti itu juga menyatakan ukuran.
Lagu merupakan pertentang suaru tinggi-rendah, panjang-pendek,
keras-lembut yang terpadu begitu rupa, sehingga telinga kita dibuat asyik
mendengarkan dan hati kita merasa puas. Tetapi apabila terjadi sekoyong-koyong
suara yang seharusnya menurut rasa kita menanjak justru kebalikannya, kita
tentu akan kecewa. Dalam hal lagu, irama yang indah itu merupakan pertentangan
yang serasi.
Karena itu, dalam keindahan itu, sebagian besar ahli pikir
menjelaskan, bahwa keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualita/pokok
tertentu yang terdapat pada sesuatu hal. Kualita yang paling sering disebut adalah
kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symetry), keseimbangan
(balance), dan pertentangan (contrast). Selanjutnya dalam hal keindahan itu
dikatakan tersusun dari berbagai keselarasan dan pertentangan dari garis,
warna, bentuk, dan kata-kata. Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa keindahan
adalah suatu kumpulan hubungan yang selaras dalam suatu benda dan diantara
benda itu dengan si pengamat.[16]
Keserasian identik dengan keindahan. Sesuatu yang serasi tentu
tampak indah. Oleh karena itu, sebagian ahli pikir berpendapat bahwa keindahan
adalah sejumlah kualita pokok tertentu yang terdapat pada suatu hal. Kualita
yang paling sering disebut kesatuan (unity), keselarasan (harmony),
kesetangkupan (symetry), keseimbangan (balance), dan perlawanan atau
pertentangan (contrast).
Pendapat lain mengatakan bahwa pengalaman estetik merupakan suatu
keselarasan dinamik dan perenungan yang menyenangkan. Dalam keselarasan itu
seseorang memiliki perasaan tenang dan mempunyai cita rasa yang baik dan merasa
hidupnya berada ditengah-tengah kesempurnaan yang menyenangkan hati dan ingin
memperpanjangnya.
Dalam mencipta seni, ada dua teori, yakni teori objektif dan teori
subjektif. Teori subjektif menyatakan bahwa keindahan adalah terciptanya
nilai-nilai estetik yang merupakan kualitas yang melekat pada benda itu.
Dalam perimbangan sebagai cabang dalam teori objektif, dinyatakan
bahwa keindahan merupakan suatu kualita dari benda. Contohnya ialah bangunan
arsitektur Yunani Kuno yang bagian atap bersusun dan ditopang tiang-tiang besar
dengan ukuran seimbang, sehingga tampak harmonis dan serasi. Atap yang tersusun
itu, tercipta dari hubungan bagian yang berimbang berdasarkan perbandingan
angka-angka.[17]
Madzhab Pythagoras yang menciptakan teori proporsi itu mengemukakan
bahwa nada-nada yang dikeluarkan oleh seutas senar tergantung dari
panjang-pendeknya senar.
Dalam seni ada 6 asas. Asas-asas itu ialah kesatuan total, tema,
tema variasi, keseimbangan, perkembangan, dan tata-jenjang.
Matematika mempunyai peranan penting dalam seni, terutama dalam
cabang seni bangunan, seni lukis, dan seni musik.
Keserasian tidak ada hubungannya dengan kemewahan. Sebab keserasian
merupakan perpaduan antara warna, bentuk, dan ukuran. Atau keserasian merupakan
merupakan pertentangan antara nada-nada tinggi rendah, keras-lembut, dan
panjang-pendek. Kadang-kadang kemewahan menunjang keserasian, tetapi tidak
selalu.[18]
D.
Kehalusan
Kehalusan berasal dari kata halus, artinya tidak kasar (perbuatan)
lembut, sopan, baik (budi bahasa), beradab. Kehalusan berarti sifat-sifat yang
halus, kesopanan, dan atau keadaban.
Halus bagi manusia itu sendiri ialah berupa sikap, yakni sikap
halus. Sikap halus adalah sikap lembut dalam menghadapi orang. Lembut dalam
mengucapkan kata-kata, lembut dalam roman muka, lembut dalam sikap anggota
badan lainnya.
Halus itu berarti suatu sikap manusia dalam pergaulan, baik dalam
masyarakat kecil maupun dalam masyarakat luas. Sudah tentu sebagai lawannya
adalah sikap kasar atau sikap orang-orang yang sedang emosi, bersikap sombong,
bersikap kaku, sikap orang yang sedang bermusuhan.
Sikap halus atau lembut merupakan gambaran hati yang tulus serta
cinta kasih terhadap sesama. Sebab itu orang yang bersikap halus atau lembut
biasanya suka memperhatikan kepentingan orang lain, dan suka menolong orang
lain. Sikap lembut merupakan perwujudan pula dari sifat-sifat ramah, sopan,
sederhana dalam pergaulan.[19]
Sikap halus juga dimiliki orang yang rendah hati, yaitu orang yang
halus tutur katanya, sopan tingkah lakunya, tidak sok, tidak membedakan pangkat
dan derajat dalam pergaulan.
Sikap halus kepada orang lain, harus dimulai dari keluarga. Ketika
didalam keluarga, sudah terbiasa dengan suasana damai, bahagia, dan dijumpai
kelembutan, niscaya akan mampu diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagaimana dikodratkan, manusia adalah makhuk yang bermoral. Ia akan selalu
berusaha berbuat baik dan selalu menginginkan kebaikan. Kebaikan, kesopanan,
kehalusan, dan kelembutan dalam pergaulan merupakan suatu hal yang selalu
didambakan.[20]
Bagian rohaniah yang melahirkan sikap ialah kemauan,perasaan, dan
pemikiran atau karsa, rasa dan cipta. Tiga unsur rohaniah ini saling berkaitan,
saling mempengaruhi, dalam mewujudkan tingkah laku, tutur bahasa, perbuatan,
sehingga dapat dinilai kehalusan atau kekasaranya. Cipta, rasa, dan karsa itu
membuat orang bergerak, karena itu ketiganya disebut trias dinamika.
Prinsip hidup kekeluargaan harus didasarkan kepada cinta kasih,
keadilan, kejujuran, kesetiaan, ketertiban, kedisiplinan. Pergaulan yang
didasarkan pada prinsip itu tentu akan melahirkan kehalusan dalam pergaulan.
Sekurang-kurangnya ketenteraman dan kesejahteraan.
Karya seni adalah hasil ciptaan manusia yang mempunyai nilai-nilai
tertentu. Nilai itu antara lain nilai inderawi, nilai bentuk, nilai
pengetahuan. Nilai-nilai itu terwujud dalam bentuk lahir yang dapat dinikmati
oleh indera kita (mata,telinga) sehingga memuaskan hati kita.
Hasil seni sangat berpengaruh terhadap jiwa dan perbuatan manusia.
Banyak orang menangis karena seni (seni drama, film, seni suara), namun banyak
juga orang yang melenggang-lenggang karena irama musik. Banyak orang merasa
tenteram, damai, dan bahagia mendengarkan lagu-lagu yang tenang menghanyutkan.[21]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keindahan sebagai bagian dari kehidupan manusia memiliki kawasan
yang sangat luas, seluas keanekaragaman
manusia dan sesuai pula dengan
perkembangan peradaban teknologi, sosial, dan budaya.
Keindahan adalah identik dengan kebenaran. Keindahan adalah
kebenaran, dan kebenaran adalah keindahan. Keduanya mempunyai nilai yang sma
yaitu abadi, dan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah, yang tidak
mengandung kebenaran berarti tak indah. Keindahan tersusun dari berbagai
keselarasan dan kebalikan dari garis, warna, bentuk, nada, dan kata-kata.
Merenung berarti berdiam diri memikirkan sesuatu, atau memikirkan
sesuatu secara mendalam. Merenung dalam rangka memperbaiki diri dari tingkah
laku yang kurang indah merupakan suatu bentuk koreksi diri. Koreksi diri
berfungsi sebagai proses mengubah tingkah laku yang kurang terpuji menuju
tingkah laku yang terpuji, dan sebagainya. Merenung juga bisa berarti
mengevaluasi diri dari berbagai kesalahan, kealpaan, dan dosa yang pernah
dibuat.
Keserasian identik dengan keindahan. Sesuatu yang serasi tentu
tampak indah. Keserasian tidak ada hubungannya dengan kemewahan. Sebab
keserasian merupakan perpaduan antara warna, bentuk, dan ukuran. Atau
keserasian merupakan merupakan pertentangan antara nada-nada tinggi rendah,
keras-lembut, dan panjang-pendek. Kadang-kadang kemewahan menunjang keserasian,
tetapi tidak selalu.
Sikap halus atau lembut merupakan gambaran hati yang tulus serta
cinta kasih terhadap sesama. Sebab itu orang yang bersikap halus atau lembut
biasanya suka memperhatikan kepentingan orang lain, dan suka menolong orang
lain. Sikap lembut merupakan perwujudan pula dari sifat-sifat ramah, sopan,
sederhana dalam pergaulan.
B.
Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun
dalam penyajiannya kami selaku manusia biasa menyadari adanya beberapa
kesalahan oleh karena itu kami mnegharapkan kritik maupun saran khususnya dari
Dosen Pembimbing Ibu Halimatus Sa’diyah, M.Pd.I
yang bersifat membantu dan membangun agar kami tidak melakukan kesalahan
yang sama dalam penyusunan makalah yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Mawardi dan Nur Hidayati, 2009, IAD/ISD/IBD, Bandung: Pusaka
Setia
Mustofa, Ahmad, 1999, Imu Budaya Dasar, Bandung: PUSTAKA
SETIA
Sukidin, dkk, 2003, Pengantar Ilmu Budaya, Surabaya: Insan
Cendekia
Soelaeman, M. Munandar, 2001, Ilmu Budaya Dasar, Bandung:
Refika Aditama
Widagdho, Djoko, dkk, 2004, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Bumi
Aksara
[1] Drs. Mawardi
dan Ir. Nur Hidayati, IAD/ISD/IBD (Bandung: Pusaka Setia, 2009), hlm.
157.
[2] Drs.
Djoko Widagdho, dkk, Ilmu Budaya Dasar (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),
hlm. 60.
[3] Drs. M.
Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar (Bandung: Refika Aditama, 2001),
hlm. 85.
[4] Drs.
Mawardi dan Ir. Nur Hidayati, op.cit. hlm. 158.
[5] Drs.
Sukidin, M.Pd, dkk, Pengantar Ilmu Budaya (Surabaya: Insan Cendekia,
2003), hlm. 48.
[6] Drs.
Djoko Widagdho, dkk, op.cit. hlm. 62-63.
[7] Drs.
Sukidin, M.Pd, dkk, op.cit. hlm. 48-49.
[8] Drs.
Mawardi dan Ir. Nur Hidayati, op.cit. hlm. 159.
[9] Drs.
Sukidin, M.Pd, dkk, op.cit. hlm. 49-50.
[10] Drs. H.
Ahmad Mustofa, Ilmu Budaya Dasar (Bandung: PUSTAKA SETIA, 1999), hlm.
67-68.
[11] Drs.
Mawardi dan Ir. Nur Hidayati, op.cit. hlm. 160-161.
[12] Drs.
Djoko Widagdho, dkk, op.cit. hlm. 65-66.
[13] Drs.
Sukidin, M.Pd, dkk, op.cit. hlm. 54.
[14] Drs.
Mawardi dan Ir. Nur Hidayati, op.cit. hlm. 162-163.
[15] Drs.
Djoko Widagdho, dkk, op.cit. hlm. 72-73.
[16] Ibid., hlm.
73-74.
[17] Drs.
Mawardi dan Ir. Nur Hidayati, op.cit. hlm. 165.
[18] Drs.
Djoko Widagdho, dkk, op.cit. hlm. 75.
[19] Ibid.,
hlm. 75-76.
[20] Drs.
Sukidin, M.Pd, dkk, op.cit. hlm. 52.
[21] Drs.
Mawardi dan Ir. Nur Hidayati, op.cit. hlm. 166.